Selasa, 11 Februari 2014
Anak Cerdas
Robert Kiyosaki menulis buku yang mengejutkan kita. Judul bukunya adalah: Why “A” students work for “C” student. And “B’ student work for government? Mengapa anak-anak yang bernilai akademik tinggi justeru bekerja kepada anak-anak yang bernilai rendah? Dan mengapa anak-anak yang bernilai “pertengahan” justeru puas dengan bekerja sebagai pegawai negeri?
A adalah academic. B adalah bureaucracy, dan C adalah capitalis.
Salah satu jawaban yang diajukan oleh Kiyosaki adalah karena banyak sekolah yang tidk mengajarkan tentang uang. Bahkan pada tingkat perguruan tinggi pun mata kuliah tentang uang hanya bagi mereka yang memilih jurusan ekonomi, akuntansi, dan perbankan saja. Mahasiswa yang memilih jurusan atau program studi ilmu-ilmu sial atau kealaman tidak mempelajari tentang uang sama sekali. Kalau pun ada yang berkaitan dengan uang, biasanya mereka belajar secara otodidak.
Mungkin juga ada factor lain kesuksesan anak cerdas tadi. Sebab, anak-anak yang memiliki IQ yang standar lebih berani menantang hidup. Karena mereka sadar, mereka tidak memiliki IPK yang cukup untuk bersaing dengan teman-teman pintarnya tadi. Mereka harus sanggup menerobos dan menciptakan masa depannya sendiri. Mereka harus fighter. Bertarung sekuat tenaga untuk keluar sebagai pemenang.
Sementara teman-teman pintarnya tadi, sudah cukup puas dengan IPK yang tinggi dan label anak jenius. Mereka terlena dengan sejumlah predikat yang disandangnya. Mereka terbelenggu dan menjadi peragu dengan kemampuan dan komptensinya sendiri. Ilmu yang dimilikinya justeru membelenggunya untuk menerobos dan menerjang “takdir”. Tentu perlu penelitian lebih lanjut mengenai ini.
Memang dalam kenyataannya, ada banyak fakta yang membenarkannya. Anak-anak yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja, tetapi memegang peranan penting dalam sebuah perusahaan atau menentukan kendali di sebuah lembaga.
Jakarta, 22 januari 2014.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar