Rabu, 09 Januari 2013
Fatwa "Ngangkang"
Akhir-akhir ini media membicarakan hangatnya fatwa "ngangkang" di Lhokseumawe, Aceh. Ada larangan dalam rancangan peraturan daerah bahwa seorang wanita tidak boleh ngangkang kalau dibonceng sepeda motor. Respon masyarakat dan MUI berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa ngangkang tidak ada kaitannya dengan syari'at Islam. Itu hanyalah adat setempat atau daerah tertentu.
Salah seorang kawan bercerita bahwa ada wilayah-wilayah tertentu di Aceh yang menerapkan aturan sangat ketat. Umpamanya, seorang wanita tidak boleh berpakaian sangat ketat atau memakai celana panjang. Sanksinya, kalau kedapatan pasti pakaiannya akan dirobek.
Saya jadi teringat bahwa Lhokseumawe adalah tempat lahir pakar hukum Islam, Prof. Hasbi Ash-shiddiqi. Prof. Hasbi adalah pendekar hukum Islam yang sangat disegani pada zamannya. Beliau banyak sekali menulis buku terkait hukum Islam dan sampai sekarang masih menjadi rujukan utama di perguruan tinggi Islam atau para pengkaji hukum Islam Indonesia. Saya sempat mendapatkan informasi dari Prof Nourouzzaman Shiddiqi, putera beliau yang juga pernah menjabat sebagai direktur Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Bahwa Prof Hasbi adalah seorang yang sangat disiplin termasuk dalam hal menulis karya akademik. Anak-anaknya biasa ikut membantu beliau untuk mengetik naskah-naskah buku beliau yang hendak diterbitkan.
Selama hidupnya, ada banyak fatwa hukum yang dikeluarkan Pof Hasbi termasuk seseorang yang sedang musafir boleh tidak melaksanakan shalat jumat. Hal ini kontroversial karena konon, beliau selama di Jogjakarta jarang melaksanakan shalat jumat karena menganggap dirinya sebagai seorang musafir. Kalau tidak keliru, saya pernah membaca sekilas pandangan beliau dalam bukunya yang berjudul: Al-Islam.
Kembali kepada persoalan "ngangkang" tadi. Bagi saya, sesungguhnya yang perlu dipertimbangkan adalah menghadirkan transportasi yang cocok dan ramah perempuan. Apakah ada model kendaraan yang lebih manusiawi yang akan menjamin keselamatan mereka ketika berkendaraan tanpa ngangkang. Bagaimana bagi keluarga sederhana, yang sudah mempunyai anak lebih dari satu, dibonceng sang suami. Ngangkang adalah pilihan yang darurat?
Saya jadi heran, mengapa di Indonesia demikian sangat ketat membatasi ruang gerak perempuan. Seakan-akan perempuan itu adalah makhluk khusus dan "pengumbar" nafsu. Apakah ini sebagai pertanda semakin menguatnya cara ber-Islam yang lugu? Meminjam istilah Andree Fiellard, The End of Innocence. Mestinya kita sudah mengakhiri cara beragama yang lugu itu.
Wa Allah a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar