Gallery

Sabtu, 27 April 2019

Petuah Rumi

Membaca Rumi akan selalu mengasyikkan. Petuah-petuah Rumi selalu menghunjam dalam sanubari. Siapa yang menyembunyikan niatnya, maka akan segera tercapai. Jika benih disembunyikan di bumi, rahasia terpendamnya akan menjelma kehijauan taman. Jika emas dan perak tak disembunyikan di dalam tanah, bagaimana orang bisa memperoleh nafkah di daerah pertambangan? Janji dan kata-kata lembut sang tabib membuat gadis itu tidak merasa takut sedikit pun. Janji yang tulus dapat menentramkan hati, janji palsu membuat hati gelisah. ( Masnawi, terj. Abdul Hadi W.M, h. 49). Nafsu laksana dua telunjuk yang menghalangi penglihatan mata. Bukan berarti dunia tidak maujud. Letakkan telunjuk akan tampak betapa indahnya alam raya ini. Dia (Tuhan) berbicara ke telinga mawar, dan mawar pun tertawa menyembulkan bunganya. Dia berbicara kepada batu, batu pun menjelma mutu manikam berkilauan. Dia memberi isyarat kepada tubuh, tubuh pun memiliki roh. Dia bertutur kepada matahari sehingga sinarnya terang benderang. (h. 191). Bila roti di meja yang tertutup sehelai kain disebut benda mati, dalam tubuh ia menjadi benda hidup dan bergembira. ( h. 193). Bulu burung Merak adalah musuh burung Merak itu. Betapa banyak raja terbunuh oleh kebesarannya sendiri. Cantik itu luka? Dr Haidar Baqir baru saja menulis buku penjelasan atas puisi-puisi Rumi dengan judul: Dari Allah Menuju Allah, Belajar Tasawuf dari Rumi ( 2019). 1. Mutu qabla an tamutu, matilah sebelum mati. Sebaiknya setiap orang beriman mengalami mati ikhtiari. Mati dengan sukarela. Bagaimana caranya? Bersihkan ruhani kita. Sebab ruhani kita menjadi panglima. Hidup kita sudah berpangkalan pada ruhani kita(h.88). 2. Jadilah kosong. Kosongkan dirimu dari egomu. Lebih kosong lebih baik. Jadilah bambu. Dengan berpuasa? ( h. 94). 3. Aku bukan milik tubuh dan jiwaku. Aku milik jiwa Kekasih. 4. Di alam Barzakh kita akan memiliki tubuh barzakhi, dan akan berbeda dengan tubuh kasar di dunia. Seperti ular yang melepas kulitnya untuk berganti kulit baru (h.100). 5. Manusia adalah faqir, tidak punya apa-apa. Manusia hanyalah percikan cahaya-Nya. (h.100). 6. Allah Swt laksana samudera tak bertepi. Manusia adalah riak-riak kecil. Gelombang air. Ombak. Sekecil apa pun riak itu juga adalah air. Air harus kembali kepada asal, samudera. Sadarlah bahwa kamu adalah riak kecil dari satu samudera yang tak terbatas. Kembalilah ke sumbermu, ke asal-usulmu. Samudera. Allah Swt. 7. Tarikan Tuhan. Majdzub. Tuhan itu magnet. Mendekatlah. Bergabunglah dalam "poros" Tuhan. 8. Wahai, Sobat! Yang kau lihat pada diriku hanyalah cangkang. Selebihnya milik cinta. Seolah-olah Rumi ingin mengatakan, fisik itu hanyalah cangkang selebihnya adalah hati. Karena cinta terletak di dalam hati. (h. 185-6). 9. ...Kupergi Ka'bah di Makkah, Dia tak di sana. Lalu kujenguk dalam hatiku sendiri. Di situ kulihat diri-Nya. Di situ, tak di tempat lain. Maksud Rumi adalah di salib Kristen, di Pagoda kuno, Pegunungan Herat, Kandahar, Gunung Kaf, dan di Ka'bah adalah ayat, tanda, dan simbol-simbol-Nya, tetapi belum merupakan makrifat dan hakikat-Nya. Dan Rumi mendapati bahwa hakikat dan makrifat Allah itu hanya ada dalam hati kita. (h. 117-19). Puisi Rumi ini mirip dengan puisi Hamzah Fansuri..... Hamzah Fansuri di dalam Makkah, Mencari Tuhan di Bait al-Ka'bah. Dari Barus ke Qudus terlalu payah. Akhirnya, dijumpa di dalam rumah. Demikianlah pesona Rumi. Kajian Rumi tetaplah menarik sepanjang masa.

Tidak ada komentar: