Gallery

Minggu, 21 April 2019

Manusia Bugis

Ingat Bugis, ingat Cristian Pelras. Pelras adalah professor dan ahli Bugis. Sebagai peneliti Bugis, Pelras menghabiskan banyak sekali waktu beliau untuk meneliti Bugis. Beliau diberi gelar La Massarassa Daeng Palippu. Pertama kali beliau datang ke Indonesia pada tahun 1967, masa yang sangat sulit bagi orang asing masuk ke Indonesia. Beliau bertolak dari Malaysia. Beliau bersama isteri (Schmitt) dan puteranya (Frederick) yang baru berusia tiga tahun. Beliau ke Wajo Sengkang. Waktu itu, beliau hidup di tengah masyarakat Bugis, tanpa listrik. Bagaimana mungkin dapat mengerti Bugis tanpa hidup di tengah- tengah mereka. Suatu hari, isteri beliau belanja sayur di pasar. Dan membeli daun sereh dalam jumlah yang banyak. Ia memasaknya semua. Puteranya sedang luka parah. Maka beliau berangkat ke Puskesmas yang hanya memiliki seoranh dokter untuk satu kabupaten. Tinggal satu kain untuk perban. Setelah tiba di rumah, perbannya copot, jatuh entah di mana? Luka kembali menganga. Akhirnya, Pelras memilih untuk menempuh pengobatan tradisional. Pelras telah jatuh cinta dengan Orang Bugis. Saya beruntung pernah bertemu dengan beliau, sekitar tahun 2004 di Hotel Golden, Makassar. Waktu itu, Prof Andi Faisal Bhakti menginisiasi sebuah seminar internasional, The Bugis Diaspora and the Dissemination of the Muslim Authority in the 20 century Malay-Indonesian Archipelago. Ada banyak tokoh dunia yang hadir. Di antara yang hadir adalah Dr Annabel Teh Gallop, ahli stempel raja- raja Nusantara. Prof Andaya dan isterinya, keduanya adalah peneliti, dan beberapa peneliti dan dosen dalam negeri. Ketika rehat, saya sempat berbincang ringan dengan beliau. Beliau bercerita bahwa ketika masih kecil hidup di desa Prancis. Kakeknya sering bercerita tentang keberadaan hantu. Saya terheran- heran, kok seorang Professor ternama percaya sama hantu. Seorang kawan menimpali bahwa barangkali Prof Pelras lahir dari pedalaman di Prancis, dan bukan dari pusat kota. Hasil riset Prof Pelras yang dikerjakannya lebih 20 tahun diterbitkan dengan judul: The Bugis,1996 oleh Blackwell Publisher Oxford, UK. Dan alhamdulillah, buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul: Manusia Bugis, 2006 dengan terjemahan Abdul Rahman Abu, Hasriadi, dan Nurhady Sirimorok. Kata pengantar oleh Nirwan Ahmad Arsuka. Buku ini terbit atas prakarsa Dr Nurhayati Rahman, dkk dan kerja sama dengan Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d' Extreme- Orient. Beberapa pandangan Pelras tentang Manusia Bugis, sebagai berikut: 1. Aset paling berharga orang Bugis adalah kepandaian mereka dalam banyak hal dan daya adaptasi yang memungkinkan mereka bertahan berabad-abad, selalu berubah tetapi tetap selalu sama. Bahkan tradisi modernitas telah tumbuh dan melampaui masyarakat Eropa sekalipun. 2. Individualitas dan penghargaan kepada hak serta kewajiban sebagai individu sangat dijunjung tinggi. Itulah sebabnya, pencapaian dan prestasi individu sebagai orang berani ( to-warani), orang kaya ( to- sugi), orang pintar atau bijaksana (to- acca), dan orang religius (to-panrita). Individualitas ini tetap dipadu dengan nilai-nilai solidaritas yang tinggi sebagai sesama orang Bugis. Hal ini tampak ketika mereka sedang hidup di rantau, selalu ada KKSS, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, dan semacamnya. 3. Orang Bugis melek huruf, sejak abad 14 sudah memiliki lontara' yang berjilid-jilid yang dimiliko masyarakat dan disimpan di desa-desa. Jadi orang Bugis tidak saja mengandalkan tradisi lisan tetapi juga tradisi tulis. Dan dari leboh 750 suku bangsa di republik hanya sekitar 10 suku yang memiliki aksara, salah satunya adalah aksara Bugis, Pallawa. Orang Jawa, Sunda, Suki Rejang, Bengkulu, Batak, Kerinci di antara sedikit suku yang memiliki aksara tersendiri. Peranan Lontara' adalah untuk mencatat a'turiolong menyangkut hukum, kebiasaan, ritual dan pengetahuan tentang pertanian, perbintangan ( astronomi), navigasi, pembuatan perahu, dan rumah. Bahkan Lontara' menurut Pelras juga mencatat dan menyebarkan inovasi kepada masyarakat luas. Seperti pada abad ke 17 sudah ditulis ajaran ulama di Sulawesi Selatan, atau pengetahuan Portugis tentang senjata api, atau pemikiran Barat tentang perhitungan waktu. 4. Sudah mempraktekkan sistem barter dalam perdagangan, ekonomi yang berorientasi pertukaran. Itulah sebabnya, dari abad ke 11, sudah ditemukan keramik-keramik Cina di sejumlah situs penting arkeologi di Sulawesi Selatan. 5. Tetapi hal yang mengejutkan Pelras di kemudian hari mengubah tesisnya. Bahwa orang Bugis yang sering direpresentasikan sebagai pelaut ulung yang kuat, dan biasa terlibat dalam perdagangan budak dan perompakan, penganut agama Islam yang taat serta pedagang yang sukses. Ternyata hanya sedikit dari mereka yang terlibat dalam aktifitas maritim dan hampir tidak ada yang jadi perompak, bajak laut.( Pelras, "Budaya Bugis: Sebuah Tradisi Modernitas", dalam Tapak-Tapak Waktu, Sejarah, Kebudayaan, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan, ININNAWA, 2005, h. 37-51). Orang Mandarlah sebagai pelaut ulung. Hal ini dapat dilihat pada jejak-jejak Lopi Sande'. Demikian pengakuan beliau dalam sebuah wawancara di Harian Kompas, Selasa, 10 Desember 2002. Pernyataan asli beliau.....Sebenarnya orang Bugis bukanlah pelaut ulung seperti banyak dikatakan orang selama ini. Orang Bugis sebenarnya adalah pedagang. Laut dan kapal hanyalah media dan sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung, maka yang paling tepat adalah orang Mandar. 6. Nilai-nilai utama orang Bugis adalah Siri' dan Pesse'. Siri' sebagai harga diri dan rasa malu. Siri' ini menjadi nilai yang dijunjung tinggi oleh orang Bugis di mana pun mereka berada. Adalagi filosofi Mallekaq Dalureng, semangay hijrah. Ilao Sompe, pergi merantau, dan berkelana. Rata- rata orang Bugis yang merantau sukses. Dan orang Bugis disenangi oleh penduduk setempat karena memiliki filosofi hidup:....di mana kaki berpijak di sana langit dijunjung. Artinya orang Bugis sangat cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Bahwa orang Bugis yang bermukim pada sebuah wilayah, pasti akan membangun daerah tersebut, bukan hanya meraup kekayaan dan membangun istana di kampung halamannya. 7. Ada banyak tokoh Bugis di luar Sulawesi. Dalam sejarah kita mengenal Raja Ali Haji, sang penyair Gurindam dua belas. Beliau sangat masyhur dengan petuah-petuahnya kepada raja. Beliau ternyata keturunan Bugis. Laksamana Raja di Laut yang sangat terkenal lewat syair Melayu itu, juga orang Bugis ( Mandar?). Orang Bugis adalah dinamis dan berkepribadian yang kuat. Memegang teguh Siri', Pesse', memiliki rasa tanggungjawab individu yang kuat, rasa solidaritas yang tinggi. Orang Bugis di mana pun berada bisa survive dan membangun. Pelras juga menyanjung pak Jusuf Kalla sebagai orang Bugis yang sekaligus to- acca, to-panrita dan to-sugi. Ewako! Maradeka To Wajo-e. Demikian.

Tidak ada komentar: