Gallery

Minggu, 28 April 2019

Islam di Tanah Mandar

Pada tanggal 24 pebruari sampai dengan 26 Pebruari 2019, saya melakukan penjajakan penulisan Sejarah Masuknya Islam di Tanah Mandar. Perjalanan ini dapat disampaikan beberapa hal mendasar, sebagai berikut: 1. Program ini dimaksudkan agar penulisan sejarah Mandar oleh pakar atau penulis yang berasal dari Mandar. Suasana kebatinan dan konteks Mandar harus “dihadirkan” dalam penulisan sejarah Islam di Mandar. 2. Patut dicatat bahwa corak Islam di Mandar terkenal sebagai Islam fiqih dan mistik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya wali dan situs-situs ziarah wali di Mandar. Tersebutlah beberapa ulama sebagai berikut: a. Syeikh Muhammad Thahir (w. 1952) yang dikenal sebagai Imam Lapeo yang memiliki 74 karamah. Beliau pernah menjadi Qadhi (hakim agama) di Mamuju. Imam Lapeo adalah pendiri menara masjid yang mirip dengan masjid-masjid di Istanbul, Turki. Menara ini pernah miring karena gempa bumi, tetapi karena karamah beliau, kemiringan menara masjid tersebut dapat tegak kembali sampai sekarang. Imam Lapeo dapat (a) berbicara dengan orang yang sudah meninggal, (b) menangkap ikan di laut tanpa kail, (c) menghardik seorang jenazah, (d) memendekkan kayu, (e) dapat melakukan shalat jum’at pada tiga tempat pada waktu yang bersamaan, (f) naik becak dari Lapeo ke Mamuju (menempuh jarak tiga ratusan kilometer). Sewaktu beliau berguru kepada Syeikh Alwi al-Maliki, Imam Lapeo juga bertugas sebagai penuntun unta sang guru. Dalam sebuah perjalanan dari Mekkah dan Madinah, suatu malam, Imam Lapeo kedinginan dan mengisap rokok. Dalam kegelapan malam, sang guru mengetahui muridnya sedang merokok, Syeikh Alwi spontan menekan rokok tersebut di telapak tangan Imam Lapeo. Keajaiban terjadi. Tangan Imam Lapeo tidak terbakar, dan tidak merasa kesakitan sama sekali. Ternyata karamah beliau sudah terbangun sejak beliau belajar di Mekkah. Ada juga kisah yang menyebutkan bahwa kejadian yang sama juga dialami oleh Kyai Muhammad Shaleh. Bahkan api rokok tidak membakar salah satu mata beliau ketika diuji oleh sang guru, di Mekkah. Tentang biografi beliau sudah terdapat beberapa disertasi dan tesis yang ditulis, seperti Dr Mukhlis Lathif, Imam Lapeo dalam Perspektif Sakral dan Profan (disertasi 2017), Sdr Amal Jadid, Dakwah Tasawuf Imam Lapeo (tesis), dan Saudari Zurriyah juga menulis 74 karamah Imam Lapeo, dst. b. Syeikh K.H. Muhammad Shaleh, pendiri dan penyebar tariqat Qadiriyah khususnya di wilayah Indonesia Timur. Beliau banyak menulis kitab dan tuntunan do’a-do’a. Menuntut ilmu pengetahuan agama di Mekkah kepada Sayyid Alwi al-Maliki al-Hasani. Tareqat Qadiriyah masih berkembang dan memiliki penganut yang sangat banyak di kawasan Indonesia Timur. Adalah Prof. K.H. Sahabuddin (almarhum) salah seorang khalifah/mursyid dan pelanjut Kyai Muhammad Shaleh. Prof Sahabuddin juga menulis disertasi doktornya tentang Konsep Nur Muhammad menurut Syeikh Yusuf ibn Ismail al-Nabhany, tokoh yang sangat dikagumi dalam tarekat Qadiriyah. Al-Nabhany juga penulis kitab Jami’ Karamat al-Auliya’ (Ensiklopedi Keramat para wali Allah). Dan saya pernah bertindak sebagai editor buku: Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta, Renaisan, 2004). Buku ini memuat perdebatan konsepsi Nur Muhammad antara Prof K. H. Sahabuddin dengan tokoh-tokoh agama di Makassar. Hal yang menarik dan tak terlupakan adalah penghormatan penganut tarekat Qadiriyah terhadap para habaib (keturunan sayyid). Kalau pun keturunan sayyid ini berbuat dosa, mereka dipandang seperti wanita yang sedang haid. Mereka pada akhir hayatnya akan menjadi baik dan husnul khatimah. c. K.H. Muhammad Arsyad (Kyai Maddeppungan), maha guru/fuqaha di Mandar yang melahirkan banyak ulama penerusnya, seperti Kyai H. Muhammad Zein (seorang qadhi) terkenal dengan kedalaman ilmu fiqih dan nahwunya. Kyai H. Mahmud Ismail, Kyai H. Abd Rahim, Kyai Najmuddin Thahir, Kyai H. Muhsin Thahir (keduanya putera Imam Lapeo), Kyai H Muhammadiyah, dst. d. Syeikh Hasan al-Yamani adalah ayah Prof Ahmad Zaky Yamani—mantan Sekjen OPEC dan pendiri yayasan Al-Furqan di London, Inggeris. Ketika terjadi revolusi di Yaman dan Saudi Arabiyah, keluarga Hasan al-Yamani memilih tanah Mandar sebagai tempat berkhidmat untuk berdakwah dan mengembangkan ilmu pengetahuan agama. Beliau tinggal di Mandar selama 10 tahun. Beliau sering terlibat perdebatan dan hujjah dengan ulama Mandar. Kyai Maddeppungan lebih sering terlibat diskusi agama dan bahkan sering berbeda pendapat. Ketika keduanya berbeda pendapat, dan masing-masing memegang hujjah dan argumentasinya, maka Syeikh Hasan al-Yamani biasa mengirim surat kepada ayahnya di Mekkah. Dan hal yang menarik adalah pendapat Kyai Maddeppungan lebih sering “dimenangkan”. Salah satu cerita yang masyhur adalah kebolehan makan hewan sembelihan karena nazar. Kyai Maddeppungan membolehkannya, sedang Syeikh Hasan al-Yamani memilih pendapat yang mengharamkannya. Dari diskusi ini terlihat, betapa Kyai Maddeppungan lebih akomodatif terhadap kearifan lokal (local wisdom). e. Kyai H. Muhammad As’ad yang dikenal dengan Kyai H. Daeng, leluhur Cici Paramida, artis nasional keturunan Mandar. Beliau lama belajar di Mekkah, dan sebelum meletusnya revolusi Wahabi, beliau menyelamatkan diri dengan naik Kapal Selam Jerman untuk pulang ke nusantara. Setiba di Mandar, beliau diangkat sebagai seorang qadhi, hakim agung di Kerajaan Balanipa, Mandar. 3. Sekarang ini, gerakan literasi sedang digalakkan di Mandar. Sdr Ridwan Alimuddin mendirikan Perpustakaan Nusa Pustaka, Pambusuang. Saudara Ridwan Alimuddin adalah penulis muda Mandar. Sdr Ridwan sudah melahirkan banyak buku dan artikel yang otentik tentang Mandar. Ia yang menulis buku Orang Mandar, Orang Laut. Tesis yang dikembangkan dalam bukunya itu sesuai dengan pandangan Prof Cristian Pelras, sejarawan Prancis yang ahli Bugis. Pelras adalah penulis The Bugis, Manusia Bugis. Dalam wawancara di Harian Kompas, tahun 2002, Pelras menyampaikan pandangan yang mengejutkan. Bahwa selama ini orang Bugis sering dipersepsikan sebagai peluat ulung. Ternyata Orang Mandarlah yang lebih patut disebut sebagai manusia laut, bukan Bugis. Kalau pun orang Bugis dekat dengan kehidupan laut dan pelayaran, hal itu karena lebih untuk kepentingan perdagangan. Karakter orang Bugis adalah bertani dan berdagang. Sdr Ridwan memilki lebih 10.000 buku koleksi pribadi, dan gratis untuk para peneliti dan siapa pun yang berminat untuk mengembangkan literasi anak-anak bangsa. Dan kami bersyukur karena Sdr Ridwan bersedia untuk menjadi tim penulis Sejarah Islam di Mandar. Adalagi Sdr Munir. Dia ini juga penulis muda Mandar yang sering melakukan napak tilas dan ziarah ke makam ulama-ulama Mandar. Mereka melakukan program penguatan literasi agama yang berhaluan Ahlussunnah wal-jama’ah. Mereka melakukan tradisi ziarah ulama terhadap ulama yang belum masyhur sekali pun. Sdr Munir telah menulis Ensiklopedi Ulama Mandar sebanyak 1.700-an halaman. Dia juga telah menulis buku tentang Andi Depu, Raja Balanipa, seorang perempuan, sang penyelamat sang merah putih dari tembakan senapan Belanda. Sdr Munir juga sudah menyatakan kesediaannya untuk bergabung sebagai tim penulis Sejarah Islam Mandar dengan Tim LKKMO. Dari Sdr Munir juga terungkap sejarah Pencak Silat Mandar terus berkembang di Betawi, terutama di Kepulauan Seribu. Konon, mahaguru pencak silat Betawi belajar dari Makkottau (pencak silat)--biasa disebut Silewa’i-- dari Mandar. Penulisan sejarah islam di Mandar dalam bentuk tematik. Ada tema Annangguru di Mandar yang menelisik sejarah Kyai di Mandar. Ada yang menulis Puakkali di Mandar. Yakni sejarah para hakim agama di Kerajaan Balanipa, dan Mandar pada umumnya. To Salama’ di Mandar, menelusuri sejarah wali dan orang-orang suci di Mandar. Seperti Syeikh Ma’ruf, To Salama’ di Pulau, dan masih banyak makam wali sepanjang provinsi Sulawesi Barat. Hal-hal menarik yang sesungguhnya patut dikaji lebih mendalam lagi adalah: (a) benarkah ada jalur lain pengislaman di Mandar selain kerajaan Islam Gowa? Bukti-bukti awal pada artefak dan jenis batu nisan, besar dugaan bahwa sebelum tahun 1543 Anthony de Paepe berkunjung ke Mandar, agama Islam sudah dipeluk dan mentradisi di sana; (b). Terdapat sejumlah batu nisan yang ditengarai dari Persia dan mirip dengan nisan para sultan di kerajaan Samudra Pasai; dan (c) terdapat manuskrip materi Khutbah dengan gambar Muslim Tionghoa, China, serta (d) Tradisi ziarah wali dengan cara mengikatkan tali atau sesuatu pada batu nisan sang wali. Tradisi ini hanya dijumpai di Kabupaten Sinjai (Sul-Sel) dan India. Mungkinkah Islam di Mandar juga memiliki keterhubungan dengan Islam dari Gujarat, India? Saya kira perlu penelitian yang mendalam. Wa Allah a’lam.

Tidak ada komentar: