Senin, 12 Agustus 2013
Selimut
Suatu hari saya naik pesawat pada pagi hari. Saya hanya memakai kaos oblong, tanpa jaket. Saya berpikir, tubuh saya cukup kuat. Ternyata saya menggigil. Saya tetap bertahan. Saya membayangkan ketika berkunjung ke Eropa atau Kanada pada musim dingin. Tidak seberapa dingin di daerah tropis seperti Indonesia.
Pikiran saya menerawang jauh. Bagaimana keadaan Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama ketika pertama kali menerima wahyu. Sampai-sampai Nabi menggigil "ketakutan". Beliau kembali ke rumahnya, di Mekkah. Sambil meminta kepada Ibunda yang agung, Khadijah. Zammiluni, zammiluni, zammiluni, selimuti aku, pinta Nabi.
Setelah peristiwa tersebut, Nabi dengan Siti Khadijah konsultasi kepada pendeta Nasrani yang masih kerabat Khadijah, apa gerangan yang sedang terjadi. Waraqah ibn Naufal, sang pendeta dengan tenang memberi wejangan. Bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah Nabi Muhammad shalla Allah 'alaih wa sallama sedang menerima wahyu. Bahwa sesungguhnya kejadian itu adalah peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang yang sudah lama mempersiapkan diri menjadi nabi dan rasul. Demikian seterusnya.
Tapi hal yang sangat menarik adalah suray al-Mudaththir dan al-muzzammil. Kedua surah ini turun pada awal-awal pewahyuan. Ya ayyuha al-muddaththir. qum fa-andzir. wa thiyabaka fa-thahhir. wa al-rujza fahjur....Wahai orang yang berselimut. Bangkitlah, dan berilah peringatan. Bersihkanlah pakaianmu. Jauhilah perbuatan dosa. Ayat ini memiliki daya juang dan semangat revolusi yang luar biasa. Bahwa untuk bangkit dan mengubah tatanan masyarakat haruslah dipimpin oleh orang yang berkarakter kuat. Harus menanggalkan "selimut" dan hijab dirinya. Harus membersihkan "pakaiannya". Harus berperangai mulia dan berbudi luhur. Dst.
Seorang pemimpin harus rela menanggalkan "selimutnya". Untuk suskes memimpin, seseorang harus memiliki integritas, trust, dan bersih. Bersih yang dimaksud adalah bersih lahirnya dan bersih bathinnya. Dalam sejarah ditulis bahwa sifat wajib yang harus melekat pada diri seorang rasul adalah empat. Yakni: (a) tabligh--komunikatif dan mampu mengkomunikasikan pikiran dan visinya; (b) shiddiq--jujur dan memiliki integrits tinggi; (c) amanah--terpercaya, dan tanggung jawab--; dan (d) fathanah--cerdas dan berkompeten. Dari empat sifat wajib baginda Nabi, tiga di antaranya terkait dengan kualitas pribadi. Dan hanya satu yang terkait dengan kapasitas intelektual, yakni kecerdasan dan kompetensi. Betapa penting integritas dan trust seseorang sebagai pra-syarat seorang pemimpin. Demikian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar