Gallery

Kamis, 01 Agustus 2013

Perbedaan Riwayat Hadis

Saya mendapat kesempatan untuk menjadi penguji eksternal untuk disertasi dengan topik: Ikhtilaf al-Riwayah, perbedaan dalam periwayatan hadis. Topik ini sangat menarik karena menyentuh otentisitas hadis Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama. Maksud penulisnya adalah melakukan rekonstruksi metodologi penelitian Ikhtilaf al-Riwayah. Menurut penulisnya, ikhtilaf al-riwayah ditengarai dapat terjadi karena faktor: (a) perbedaan peristiwa; (b) terjadinya periwayatan bi al-makna; (c) karena dibolehkannya meringkas hadis sepanjang tidak mengubah maknanya; (d) mungkin juga karena ketidaktelitian periwayat sebuah hadis; dan (e) pemalsuan hadis. Memang dalam prakteknya, terutama pada hadis bi al-fi'ly, terkadang satu peristiwa dapat direspon dengan beragam kata dan kalimat. Seperti contoh seorang Arab Badui yang tba-tiba berlari ke sudut masjid sedang Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama dan para sahabatnya menggelar pengajian. Si Badui rupanya mau melepas hajat (buang air kecil). Para sahabat berteriak. Nabi bersabda: da'auhu; biarkan saja dulu! Setelah selesai, si Badui dipanggil Nabi. Nabi bersabda: Sesungguhnya masjid ini dibangun untuk shalat, zikir dan tempat untuk belajar al-Qur'an. Riwayat ini direspon para sahabat dengan 12 riwayat ( dalam shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Aby Dawud, Sunan al-Tirmizy, dll). Demikian dalam Dr Musfir Azmullah al-Daminy, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, h. 19-21. Memang di kalangan sahabat juga memiliki sikap yang berbeda. Abdullah ibn Umar terkenal sebagai sahabat yang ketat dalam hal periwayatan (min al-shahabat al-mutasyaddidin fi al-riwayat bi al-lafzh). Kembali ke penulis disertasi tadi. Saya terkejut karena yang bersangkutan dalam pisau analisisnya memakai teori common link G.H.A Juynboll. Dengan melihat latar belakang pendidikan ybs alumni al-Azhar Kairo, saya berpikir akan "berhati-hati" dengan teori Juynboll. Sebab, seperti kita ketahui, teori common link Juynboll adalah elaborasi yang canggih dari teori Joseph Schacht dalam bukunya yang monumnetal: The Origins of Islamic Jurisprudence. Baik Joseph Schacht maupun Juynboll keduanya meragukan otentisitas hadis. Meskipun Juynboll masih mengunggulkan hadis daripada Bibel. Hadis bagaimanapun tetap memiliki jalur isnad (rangkaian periwayat). Sedang Bibel tidak. G.H.A Juynboll tidak percaya kepada isnad keluarga. Seperti sanad Malik----Nafi' Maula Ibnu Umar yang dikenal sebagai silsilah al-zahab/ silsilah emas, tidak diakui Juynboll. Bahkan Nafi' dianggapnya sebagai tokoh fiktif karena sangat sedikit infromasi tentang kehidupannya. Bahkan Nafi' tidak ditemukan informasi tahun wafatnya. Tesis ini ditolak oleh Nabia Abbott, Fuat Zesgin, M.M. Azami yang berpendapat bahwa sanad keluarga sangat kuat karena berhubungan langsung. Dalam ujian promosi tersebut saya sarankan kepada promovendus agar kembali mendalami buku-buku berikut: 1. Kitab al-Risalah karya Imam Syafi'i terutama "dimenangkannnya" khabr al-wahid ketimbang ijma' ulama. Meskipun Imam Syafi'i memberi syarat yang sangat ketat. yakni (a) periwayatnya harus dapat diandalkan kualitas agamanya (tidak fasiq)--an yakuna man haddatha bihi thiqat-an fi dinih; (b) dikenal jujur dalam menyampaikan hadis--makruf-an bi al-shidqi fi hadithih; (c) memahami apa yang disampaikannya--'aliman lima yuhaddithu bihi; (d) mengenal betul redaksinya yang tepat karena redaksi yang tidak pas dapat mengubah makna--'aliman lima yuhilu ma'any al-hadith min al-lafdzi;(e) memiliki kemampuan meriwayatkan hadis kata demi kata, tidak hanya sekedar riwayat bi al-ma'na supaya tidak mengubah yang halal menjadi haram--wa an yakuna mimman yu'addy al-haditha bi-hurufihi kama sami'a. la yuhaddithu bihi 'ala al-ma'na. li annahu idza haddatha bihi 'ala al-ma'na wa huwa ghairu 'alim-in lima yuhilu ma'nahu, lam yadri la'allahu yuhilu al-halala ila al-harami--Kitab al-Risalah, h. 370-371. dst. 2. Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, 1970. Salah satu yang menarik, Ahmad Hasan mengakui karya J. Schacht The Origins... adalah yang paling komprehensif dan orisinal mengenai hukum Islam. Tesis Schacht yang ditolak Ahmad Hasan, antara lain: (a) Hukum Islam tidak berakar dari al-Qur'an dan sunnah rasul, tapi dari praktek populer dinasti Umayyah. Sunnah Rasul muncul ketika terjadinya pembunuhan Uthsman ibn 'Affan; (b) sunnah rasul hanyalah "diada-adakan". Yang ada hanya sunnah orang-orang arab pra- Islam, dan hanya disandarkan kepada rasululah shalla Allah 'alaih wa sallama; (c) Qiyas dari Yahudi, dan ijma' dari hukum Romawi. Semua tesis ini ditolak oleh Ahmad Hasan. Hukum Islam sebermula berlandaskan al-Qur'an dan sunnah, tanpa mengesampingkan fakta bahwa bahan-bahannya sebagian disuplay dari praktek-praktek populer dan pemerintahan Bani Umayyah. Hal yang mengejutkan pada bagian akhir bukunya, Ahmad Hasan menyimpulkan bahwa Imam Syafi'i paling bertanggung jawab atas tertutupnya pintu ijtihad. Karena mengunggulkan khabr al-wahid (hadis ahad) dari ijma'. Sehingg akreatifitas, dan ijtihad berhenti. Tentu saja kesimpulan ini terlalu provokatif karena tidaklah adil "membebankan" penutupan ijtihad terhadap seseorang saja. 3. Dr Musfir Azmullah al-Daminy, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah. Buku ini penting untuk melihat perhatian sahabat dan para ulama sesudahnya mengenai kritik matan hadis. Kritik matan hadis ternyata mendapat perhatian dari awal perkembangannya. Dan tidak seperti yang disampaikan Ahmad Amin yang menuduh para ulama hadis tak lebih sebagai "zawamil asfar", unta-unta pemikul beban kertas. Mereka meriwayatkan sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerti maknanya. 4. Imam Syafi'i (w. 204 H), Ikhtilaf al-Hadith--kitab ini menjadi hamisy kitab al-Umm karya Imam Syafi'i--. 5. Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Takwil Mukhtalif al-Hadith. 6. al-Thahawy (w. 321 H), Musykil al-Athar. Memang pemahaman terhadap hadis Nabi shalla Alah 'alaih wa sallama menjadi tidak sederhana. Apatah lagi dengan perkembangan keilmuan di era sekarang. Keilmuan hadis, ulumul hadis harus bersunggungan dengan keilmuan lainnya. Tidak lagi berdiri sendiri, tapi harus "terkoneksi" dengan yang lainnya. Demikian. Wa Allah a'lam.

Tidak ada komentar: