Gallery

Senin, 25 Juni 2012

Rumi

Di atas nisan Jalaluddin Rumi tertulis kalimat: ketika kita meninggal, jangan cari pusara kita di bumi, tapi carilah di hati manusia. Kata-kata bijak Rumi memang sangat inspiratif. Rumi sebagai sufi penyair memiliki pengaruh yang luar biasa. Rumi telah mewariskan karya karya monumental, antara lain: Mathnawi-i- Ma'ani ( Couplets of Inner Meaning), Fihi ma Fihi yang memuat percakapan informalnya, dan Manaqib al-'arifin yang mengandung ajaran- ajarannya. Rumi pernah berkata, jika sepuluh orang ingin memasuki sebuah rumah, dan hanya sembilan orang yang menemukan jalan masuk, maka orang yang kesepuluh mestinya tidak mengatakan: "ini sudah suratan takdir". Ia mestinya cari tahu apa kekurangannya. ( dielaborasi dari Idries Shah, The Way of the Sufi, terjemahan Joko S. Kahhar dengan judul: Jalan Sufi). Kawan saya, Andi Nurbaety (Dosen UIN Alauddin Makassar) pernah bercerita tentang keagungan Jalaluddin Rumi. Ia dalam beberapa kesempatan menangis ketika membaca puisi Rumi dalam Mathnawi-nya. Kak Ety bercerita salah satu keluasan dan kedalaman ilmu Rumi dirasakannya ketika membaca dua karya penting, Tears of the Heart Rumi Selections karya Osman Nuri Topbas (2005)dan Tears of Love Shams-i Tabrizi A Biographical Novel karya Sinan Yagmur (2011). Kelihatan sederhana contoh-contoh yang diajukan, tapi memiliki makna yang sangat dalam. Suatu hari, datanglah sekelompok filosof yang mengajukan pertanyaan kepada Rumi. Mereka menanyakan tiga hal. Lalu Rumi mengarahkan agar pertanyaan itu diajukan kepada orang ini sambil menunjuk ke arah Syams-i Tabrizi, gurunya. Sebab, selama ini beliaulah yang banyak menginspirasi dan tempat saya bertanya, kata Rumi singkat. Pertanyaan pertama tentang keberadaan Tuhan. Coba tunjukkan argumen kepada kami tentang keberadaan Tuhan karena wujudnya tidak kelihatan agar kami dapat percaya. Syams-i Tabrizi langsung menimpali, pertanyaan kedua? Filosof tadi melanjutkan, pertanyaan kedua: Iblis itu tercipta dari api, lalu diancam akan disiksa dengan api neraka. Apa bisa api "merasakan" siksa dari api? Pertanyaan ketiga, manusia tercipta dari tanah, mestinya biarkanlah manusia hidup tanpa aturan yang mengikat. Syams-i Tabrizi mengajak para filosof tersebut keluar halaman madrasah Rumi. Sekelompok orang sedang membuat batu bata. Tabrizi mengambil batu bata tersebut dan langsung "memukulkannnya" ke kepala sang filosof yang bertanya tadi. Biarkan dia melapor kepada hakim bahwa dia telah dipukul. Kita tunggu saja di sini, kata Tabrizi. Sang hakim datang dengan sang filosof dengan kepala yang sudah dibalut. Hakim minta pertanggung jawaban Tabrizi, bagaimana bisa terjadi pemukulan itu? Tabrizi: "Saya cuma menjawab pertanyaan dia, kok". Coba tunjukkan sakitnya kepada saya. Bagaimana bisa membuktikan rasa sakit itu? Manusia tercipta dari tanah. Batu bata juga dari tanah, mestinya dia tidak merasa sakit, toh. Iblis juga tercipta dari api. Hidup ini apa sebaiknya tanpa aturan?. Satu tindakan bisa menjawab tiga pertanyaan sekaligus, tandas Tabrizi. Wa Allah a'lam.

Tidak ada komentar: