Gallery

Senin, 07 Maret 2016

SPPD

Suatu hari saya mendampingi Dr. H.M Suparta yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Agama RI. Ada sekitar 11 orang anggota senat sebuah perguruan tinggi ternama dari Sumatera. Mereka mengajukan mosi tidak percaya kepada rektornya. Perdebatan dimuali. Profesor yang paling senior yang memulai pembicaraan. Dari awal sampai akhir sang profesor mengkritik habis-habisan sang rektor. Isu nepotisme salah satu yang mencuat.
Hal yang menarik, sang rektor duduk tersenyum kecut, dan seakan-akan cuek dengan kritik yang dilontarkan oleh rivalnya. Sang rektor tenang- tenang saja. Saya mengamati dan mencatat semua pembicaraan tersebut. Sesekali pak Suparta menyela dan melontarkan humor untuk mencairkan suasana.
Geli juga rasanya mendengarkan perseteruan para guru besar itu. Setelah acara selesai, sekitar pukul 13, saya berbisik kepada pak rektor. Siapa yang membiayai mereka ini semua. Dengan enteng pak rektor menjawab, ya saya!  Astagfirullh, saya langsung istighfar. Saya tidak pernah menyangka bahwa seorang rektor yang baik hati dicaci- maki oleh bawahannya di depan petinggi Jakarta. Saya tidak bisa membayangkan, apa yang ada dalam benak para rivalnya itu. Kekuasan? Marwah? Dan apalagi?
Konon, sang rektor memang dikenal dengan kebijakannya yang nepotisme. Beliau sering mengangkat pejabat yang berkatar belakang sedaerahnya. Setelah saya konfirmasi, memang orang- orang dari daerahnya yang memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan tertentu. Konflik sewaktu- waktu bisa ditolerir. Tetapi kalau sudah tidak terkendali, maka konflik akan menghambat kemajuan. Tidak ada hangsa yang bisa bertahan lama dalam suasana konflik.

Tidak ada komentar: