Gallery

Senin, 14 Maret 2016

Hukum Atas Nama Tuhan

Menarik sekali menelaah pandangan- pandangan kritis Khaled M. Abou El Fadl dalam bukunya Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority, and Women.
Ketika lingkungan sosial berubah dan berkembang, maka peran berbagai riwayat juga berubah dan berkembang. Sebuah riwayat mungkin berdampak kecil pada suatu zaman, tetapi berdampak besar pada zaman kita. Sebuah riwayat dapat dipercaya pada suatu zaman, tetapi mungkin menjadi tidak dapat dipercaya pada zaman lain, tulis Khaled El Fadhl.
Riwayat dari A'isyah RHA, bahwa Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama, kaum muhajirin dan kaum Anshar berkumpul dalam suatu majelis. Tiba-tiba seekor unta bersujud di hadapan Nabi. Sahabat,mya rasulallah, unta ini bersujud kepadamu. Bagaimana kalau kami juga melakukan hal yang sama. Sabda Nabi, bersujudlah hanya kepada Allah Swt, dan hormatilah saudaramu.
Pada kesempatan lain,  Mu'adz  baru saja dari Syam. Ia melihat di negeri Syam orang- orang di sana bersujud kepada para pendetanya.  Ia pun bermaksud  melakukan hal yang sama kepada Nabi. Tetapi Nabi tidak berkenan. Kalaupun boleh seseorang bersujud kepada sesama hamba, maka seorang isteri pantas untuk bersujud kepada suaminya. Bahkan, kalau suaminya menyuruh untuk menjilati bisulnya.
Ada riwayat dari Azhar ibn Marwan yang menyebutkan bahwa kalau suamimu mengajakmu tidur ( berhubungan seks) di atas punggung unta, maka sebagai seorang isteri tidak boleh menolak permintaan suami. Apa ini ada kelainan seks? Hadis- hadis semacam ini perlu penelitian yang mendalam. Sepertinya tidak pantas ujaran seperti itu keluar dari lisaj seorang rasul.
Tentu masih banyak riwayat yang senada, dan sangat merendahkan kaum wanita yang bahkan telah beredar di dalam pergaulan masyarakat. Riwayat seperti ini seharusnya di- peti-es-kan saja. Disamping tidak memberi makna juga tidak memberi pendidikan moral yang baik. Saya lagi bertanya- tanya, apakah hal- hal seperti itu merepresentasi kebobrokan masyarakat arab jahiliyah kala itu?

Tidak ada komentar: