Gallery

Kamis, 11 September 2014

Indonesianis

Saya menikmati majalah tempo yang menurunkan laporan khusus para "Indonesianis". Laporan tersebut menarik, karena ternyata sekitar 90 persen para pengkaji dan peneliti Indoensia tidak tinggal dan berdomisili di Indonesia. Demikian pandangan Prof. Antony Reid, salah seorang Indonesianis yang sedang naik daun. Bahkan beliau sampai professor emiritus, juga masih setia pada kajian Indonesia terutama sejarah pergolakan kemerdekaan Sumatera yang banyak menelan korban jiwa. Memang, para Indonesianis itu tidak selamanya datang dan menulis tentang Indonesia murni akademik. Tetapi ada udang di balik batu. Katakanlah tokoh sehebat Dr Snouck Hurgronje, Belanda menyamar sebagai ulama Turki dengan nama samaran Abdul Ghaffar. Ia memang fasih berbahasa Arab dan menguasai literatur Arab, al-Qur'an dan hadis. Ia dikisahkan pernah menyelinap masuk ke Mekkah, sekitar enam bulan. Di sanalah ia untuk pertama kalinya bertemu dan berbincang dengan para jama'ah haji dan ulama Aceh. Belakangan, ia harus dideportasi dari Mekkah karena penyamarannya ketahuan. Kala itu, seseorang yang beragama non-muslim tidak bisa masuk ke Mekkah. Dr Hurgronje sesungguhnya "mata-mata" dan "alat" kerajaan Belanda untuk maksud penjajahan. Adalagi Dr Clifford Greertz dengan hasil penelitiannya yang monumental, The Religion of Java. Clifford Greertz adalah seorang antropolog kawakan yang melakukan penelitian di Kediri. Ia menelorkan teori bahwa masyarakat Jawa terpolarisasi menjadi tiga kelompok. Yakni abangan, santri dan priyayi. Teori ini sudah banyak dibantah. Sebab, orang Jawa tidak bisa dikelompokkan demikian itu. Batas-batas priyayi, santri dan abangan sekarang ini sudah sangat berbeda. yang terpenting bahwa kedatangan Clifford Geertz itu tidak semata-mata tujuan akademik, tetapi juga untuk melihat sejauh mana pengaruh Rusia dan komunisme di Indonesia.

1 komentar:

jaket kulit mengatakan...

salam hangat dari kami ijin informasinya dari kami pengrajin jaket kulit