Gallery

Rabu, 18 Mei 2016

Current Issues Pendidikan Tinggi

Barangkali untuk pengembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia, realitas berikut dapat menjadi bahan pemikiran. 1. Mobilitas Antar Universitas Di Indonesia, dosen cenderung pensiun di tempat. Mereka rata- rata tidak mengalami pengalaman mengajar di tempat lain. Bahkan tragisnya, terkadang ada dosen yang mengajarkan mata kuliah di luar kompetensinya hanya karena alasan pemenuhan BKD. Ada juga dosen memiliki keahlian dan kepakaran tertentu, tetapi sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh perguruan tinggi lain. Demikian seterusnya. Ada ahli perpajakan, keuangan, akuntansi dan perbankan. Ahli perpajakan mengajarkan ilmunya pada prodi keuangan. Sedang ahli keuangan mengajarkan kepakarannya pada prodi perpajakan. Tidak connect. Sehingga perlu kebijakan komprehensif untuk melakukan migrasi dosen dalam waktu tertentu agar terjadi distribusi kepakaran secara merata. Dan tidak menumpuk pada perguruan tinggi tertentu. 2. Tantangan pendidikan di era MEA. New Think Asean, kata Philip Kotler. Asean sulit diprediksi. Ada banyak pemain baru dalam seluruh sektor, ekonomi, politik, dan budaya. Asean sekarang sudah sangat berbeda dengan 20 tahun yang lalu. MEA adalah peluang pasar bagi Indonesia. Tantangan kita, 1. Masalah bahasa. 2. Mobilitas mahasiswa, dosen dan peneliti. Tantangan kedua ini bisa dilakukan international summer program, lecturer/ researcher exchange program, joint risearch, joint seminar, double degree, dst. ( Topo Santoso, kompas, 9 Mei 2016). 3. Menyehatkan PTN- PTS Ada sepuluh PT terbaik Amerika. Semuanya PTS dan didanai oleh donatur kaya. Universitas Harvard memiliki dana abadi sebanyak Rp. 473,2 triliun. Donatur Dari filantropis kaya semacam Rockefeller, John F Kennedy, dan Melinda Gates banyak investasi untuk pendidikan dan kesehatan. Di Indonesia kita sukit mendapatkan orang kaya seperti itu. PTS kita banyak yang sakit- sakitan. Dari 3.078 PTS, baru 111 (3,6%) mengajukan akreditasi institusi. Itupun baru 4,5% yang mampu terakreditasi B, dan selebihnya C. Masih ribuan yang belu mengajukan akreditasi. Mengerikan. Sementara ada 70% mahasiswa Indonesia kuliah di PTS. Ditambah lagi, dengan 1/3 PTS yang masih luhur dan bersikukuh dalam menjalankan misi PT. Selebihnya, PTS dijadikan sebagai pundi- pundi income oleh pendirinya. Ada juga untuk kepentingan bisnis, kepentingan pribadi sebagai sumber dana kampanye, dst. PTS sulit mendapatkan izin prodi yang laris- manis seperti Prodi Ilmu Kedikteran dan semua turunannya. Dosen PTS juga hanya sedikit yang bisa berfungsi sebagai dosen. Padahal untuk melaksanakan tridharma, PT sangat membutuhkan dosen yang bermutu, laboratorium, perpustakaan yang lengkap, proses belajar mengajar yang maju. Sehingga kita bisa melahirkan lulusan yang terampil dan berdaya saing. ( Elfindri, Kompas, 4 maret 2016). 4. Pengembangan bidang ilmu Data Forlap Kemenristek Dikti (2016), jumlah prodi sebanyak 23.747. Sains dan teknik yang mencakup MIPA, teknik, kedokteran, kesehatan, dan pertanian. Selebihnya ilmu- ilmu sosial dan humaniora, seperti ekonomi, politik, hukum, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan agama. Jumlah prodi sains- keteknikan lebih sedikit dibanding ilmu sosial dan humaniora. Sains keteknikan sebanyak 10.135 prodi sekitar 43%. Dan ilmu sosial dan humaniora sebanyak 57% ( 13.611). Dari jumlah mahasiswa sebanyak 5. 228.562, yang menekuni sains keteknikan hanya 1.593.882(30,5 persen). Dan mereka yang menekuni bidang ilmu sosial dan humaniora sebanyak 3. 634.679(69,5 %).Sehingga terjadilah ketimpangan. Terjadilah inflasi sarjana ilmu-ilmu sosial humaniora. Lebih banyak " pengamat" daripada ahli. Defisit sarjana teknik tak terhindarkan. Indonesia kekurangan insinyur. Diperkirakan tahun 2015-2025, kita kekurangan insinyur sekitar 15 ribu pertahun. Pada tahun 2020-2025 kita membutuhkan insinyur sebanyak 90.500 pertahun. Bagaimana dengan PTkI? 5. Penguatan Integrasi Ilmu, Sains dan Agama Filosofi Integrasi Ilmu dan sains sudah selesai. Problem kita adalah implementasi Integrasi Ilmu. Membuat dan menetapkan KKNInya. Kita perlu belajar kepada Iran dan Malaysia. 6. Banyak PNS yang tidak siap mengemban jabatan. Karena berkompetensi rendah. Mereka tidak dididik untuk mengambil keputusan. Mereka juga rata- rata tidak bisa berinovasi. Risk taker harus menjadi habit. Bukan menikmati comport zona. Zona nyaman dan aman. Lalu, apakah Diklat PIM sebagai jawabannya? Orang yang sudah mengikuti Diklat PIM juga tidak menjadi lebih baik. Pasalnya, widyaswaranya juga rata- rata orang yang tidak kompeten. Jadilah lingkaran setan. Bahkan BKN melaporkan akan terjadi pengurangan PNS. Jumlah PNS kita surplus, sekitar 4,5 juta. Sedang kebutuhan kita hanya 4,5 jutaan. Jumlah pegawai ideal adalah 1,5 persen dari total jumlah penduduk ( 250 juta). Ideal jumlah pegawai 3,5 juta orang.mjadi perlu pengurangan 1 juta PNS. Apalagi era sekarang adalah era digital. Sudah banyak pekerjaan yang diambil alih oleh teknologi. PNS pensiun, meninggal, dan kurang produktif harus mengundurkan diri. Akankah terjadi Tsunami sosial? Bagaimana peran. PT? Ukuran audit pegawai, kata Prof Yuddy chrisnandi harus sama. Sehingga pegawai akan terbagi menjadi empat kuadran. a. Kuadrank pertama berisi pegawai yang produktif dan berkompetensi. b. Pegawai yang tidak produktif tetapi berkompetensi. c. Pegawai yang produktif, tetapi tidak berkompetensi. d. Pegawai yang tidak produktif dan tidak berkompetensi. Kelompok inilah yang akan dirasionalisasi. Maksudnya akan dipensiunkan. Agar belanja pegawai bisa ditekan dari 33,8 persen di pusat menjadi 30'persen saja. Di daerah, dari 50 persen menjadi dibawah 50 persen. Bahkan ada yang belanja pegawainya mencapai 70 persen. Besarnya belanja pegawai bukan hanya karena untuk membayar insentif dan tunjangan pegawai, tetapi karena banyaknya anggaran pendukung program atau proyek tertentu. Seperti program bantuan yang juga dipaketkan dengan monevnya. Tingginya anggaran perjalanan dinas, dst.( Kompas, 18 Mei 2016, h. 4).

Tidak ada komentar: