Gallery

Minggu, 06 Desember 2015

Ratapan Kerinduan Rumi

Ratapan Kerinduan Rumi adalah buku baru yang ditulis Osman Nuri Topbas. Judul aslinya Tears of the Love. Buku ini diterjemahkan oleh Andi Nurbaety, dosen UIN Alauddin Makassar. Buku ini baru saja diterbitkan oleh Mizania, Bandung, 2015. Buku ini memuat komentar atas Matsnawi, Jalaluddin Rumi. Lewat karya ini, pandangan- pandangan alegoris da kisah-kisah matoforis Rumi bisa dipahami dengan muda.
Saya ingin mengutip beberapa bagian buku tersebut, sebagai berikut:
1. Suka dan duka yang menimpa manusia ibarat tamu. Sebagai tamu pasti akan segera pergi dan berlalu. Suka juga tidak selamanya kekal. Suka juga akan segera pergi dan berlalu. Duka, lara dan penyakit adalah harta. Duka ibarat angin rahmat yang berembus membersihkan debu yang menempel. Berdamailah dengan duka, lara dan penyakit sekalipun.
2. Bicaralah tentang mawar. Bukan tentang pohonnya dan durinya.
3. Syeikh Naqsyanabi quddisa sirruh mengikuti nasehat gurunya, Amir Qulal untuk berkhidmat kepada orang lemah,sakit dan miskin selama 7 tahun, memelihara dan membalut luka anjing dan binatang selama tujuh tahun, dan membersihkan jalanan dan menyingkirkan durinya selama tujuh tahun. Setelah itu Syeikh Naqsyabandi menemukan fana fi Allah. Ada banyak keajaiban yang ditemukkannya dalam hidupnya. Seperti, pada suatu kesempatan, ia bertemu dengan anjing. Anjing tersebut menengadahkan tangannya ke langit sambil melolong. Anjing berdo'a. Syeikh Naqsyabandi mengaminkan do'a sang anjing. Mirip-mirip anjing ashabul kahfi.
4. Rumi berkata bahwa kata-kata yang tidak disertai dengan perbuatan adalah ibarat pakaian pinjaman.
5. Sebelum membaca al-Qur'an dan hadis Nabi saw, luruskan niatmu, dan sucikan hatimu. Jika aroma taman mawar tidak menyentuhmu, jangan salahkan taman mawarnya tetapi salahkan hatimu dan penciumanmu.
6. Di tengah malam, Ibrahim Adam tertidur di atas tahtanya. Tiba-tiba ia mendengar kegaduhan di atas atapnya. Sultan Ibrahim terbagun. Siapa di sana? Suara menjawab, kami sedang mencari unta kami yang hilang. Bodoh kalian, bagaimana bisa mencari unta di atas atap, sergah Ibrahim. Datanglah jawaban yang tak terduga" o Ibrahim, engkau tahu mustahil mencari unta di atas atap. Sama mustahilnya mencari Tuhan sambil duduk di atas tahta, berpakaian sutra, dan memegang cambuk. Ibrahim terguncang.
Pada kesempatan lain, Ibrahim berburu kijang. Ibrahim sangat antusias memburu kijang meskipun pasukannya sudah tertinggal di belakang. Beliau terus memburu kijang. Kijang pun terpojok, dan ketika hendak melepaskan anak panah, sang kijang berucap: Wahai Ibrahim ,apakah engkau tercipta karena ini? Kalaupun engkau dapat menaklukkanku, yang engkau capai hanya bisa menghilangkan satu nyawa! Ibrahim bergegas, berlari kencang dnegan kuda tunggangannya. Ia melewati gurun pasir. ia tidak menemukan seseorang pun kecuali seorang gembala. Ia melompat turun dari kudanya. ia melucuti seluruh pakaian kebesarannya. Ia memberi seluruhnya kepada sang pengembala termasuk kudanya. Ia bertukar pakaian wol kasar dengan si penggembala. Ia meminta pengggembala agar tidak menceritakan peristiwa tersebut kepada siapa pun. Ia bergegas pergi. Demikian sekelumit kisah menarik tokoh sufi yang inspiratif ini.
7. Lain lagi dengan Imam al-Ghazali, hujjat al-Islam. Imam al-Ghazali pada usia yang masih sangat mudi, 33 tahun sudah menjadi seorang professor di istana. Sedari kecil beliau menuntut ilmu agama dengan saudaranya Ahmad. Ayahnya wafat ketika beliau masih kecil. Ayahnya berwasiat kepada sahabatnya yang juga seorang sufi. Bahwa ketika ajal menjemputku, kedua puteraku tolong dididik. Saya memiliki toko dan mesin jahit untuk biaya studi mereka berdua. Singkat cerita, sepeninggal ayah Imam al-Ghazali, sang sufi pun memelihara kedua. Menyekolahkannya dan membiayainya dengan sedikit harta yang ditinggalkan orang tuanya. Wal hasil, biaya sudah habis, dan toko sudah terjual. Maka untuk melanjutkan studi Ghazali muda dan adiknya, sang sufi menitipkannya pada sebuah madrasah untuk numpang belajar sambil makan di sana. Keadaan ii terus berlanjut hingga Ghazali dewasa. Keadaan ini, sesungguhnya disesali Ghazali sebagai sebuah fase dalam hidupnya. Halmana, ia menuntut ilmu karena hanya untuk menyambung hidup. Beliau merasa kurang ikhlas kepada Allah Swt.
Seterusnya, pada usia menjelang 40-an, Imam al-Ghazali jatuh sakit. Beliau mengalami guncangan. Ternyata ilmu kalam, fiqih, filsafat, logika yang ditekuni selama ini tidak dapat "memuaskannnya". Beliau depresi. Diagnosa dokter, penyakit Ghazali sulit disembuhkan. Hanya dirinyalah yang bisa menyembuhkannya. Dalam al-Munqidz min al-Dhalal-nya, al-Ghazali menulis bahwa beliau sakit selama enam bulan. Di sanalah awal pencarian dan pendakian spiritualnya. Beliau menjalani kehidupan zuhud, meninggalkan kemewahan hidup istana, dan menyepi. Konon, dalam pergulatan batinnya itulah, al-Ghazali menemukan hakikat kebenaran. Jalan sufilah yang menenangkan jiwanya. Dahaga spiritual ditemukannya lewat jalan salik-tasawuf. al-Ghazali terus menulis pengalaman spiritualnya itu. Tulisannya mengalir deras ibarat air dari mata air. Jernih. Bening. Mengalir tak henti-hentinya. Konon, Imam al-Ghazali menulis kitab-kitabnya di atas menara Masjid Damaskus. Setiap hadis yang ditulisnya, beliau mengkonfirmasi langsung kepada baginda Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama.
Sepertinya di era sekarang, kita harus dekat-dekat dengan diskursus tasawuf. Hidup tenang dan tidak mudah terhempas. Visi kita jelas hanya mencari ridha Allah. Setiap orang harus bangga dengan berkata: saya adalah aparat Allah. Selan-Nya tidak!

Tidak ada komentar: