Dulu terkenal Prof. Dr. Harun Nasution yang sangat rasional. Ingat Harun Nasution pasti ingat neo-muktazilah. Kehebatan Prof Harun adalah sangat menguasai teologi Islam. Kalau beliau sedang membahas muktazilah, persis seperti pengikut muktazilah. Beliau kelihatan sangat rasional dalam kuliah yang sedang diampunya. Kalau sedang membahas aliran jabariyah--fatalistik--beliau hampir-hampir seperti pengikut aliran jabariyah. Demikian seterusnya. Tapi yang sangat melekat pada diri Prof. Harun adalah rasionalitasnya.
Ada hal yang menarik dari Prof Harun. Rata-rata muridnya yang baru saja selesai pendidikan doktornya dipesan agar tidak terlalu gemar ceramah. Supaya para doktor baru itu lebih senang meneliti daripada "tukang ceramah" yang hanya menyampaikan ajaran agama yang ringan-ringan.
Di era sekarang, zamannya sudah berbeda. Ketika gempuran Wahabi dan salafi demikia hebatnya, mestinya para doktor muda itu "turun gunung" untuk berkhutbah dan menyampaikan ceramah agama. Sekarang ini, ada banyak penceramah muda yang tampil di layar televisi yang memiliki pemahaman keagamaan yang sangat dangkal.
Mereka yang cerdik cendekia sepantasnyalah untuk ikut mencerdaskan umat ini. Ada cerita yang menarik. Seorang professor bercerita bahwa sekarnag ini beliau sudah mau khutbah jum'at. Sebab, dengan sesekali berkhutbah beliau memiliki kesempatan yang luas untuk menyampaikan pikiran jernih kepada umat. Saya tidak bisa membayangkan kalau wahabisme dan salafisme yang berkembang pesat di Indonesia. Mereka itu hampir-hampir saja sangat tekstualis dan anti-intelektualisme. Mereka hanya mengandalkan teks-teks suci agama secara literal. Mereka juga hanya berceramah tentang bid'ah-bid'ah dan syirik. Untuk pengembangan ilmu jarang kita mendengarnya.
Semoga saja dengan kesadaran bersama, para professor doktor itu "tuurn gunung", umat kita lebih cerdas. Ibarat minum air, mereka meminum air dari sumber mata air. Umat ini hidup cerdas dan tercerahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar