Selasa, 10 September 2013
Jihad Lagi
Seorang kawan sedang menulis disertasi dengan judul: Jihad dalam pandangan Sayyid Quthub sebagaimana dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur'an. Saya belum membaca utuh disertasi tersebut. tapi bayangan saya adalah sosok Sayyid Quthub yang dikenal sebagai salah seorang petinggi Ikhwan al-Muslimin.
Saya juga membayangkan pandangan yang kontras dengan Quthub, yaitu Jamal al-Banna--adik kandung Hassan al-Banna, pendiri Ikhwan al-Muslimin. Jamal al-Banna menulis buku dengan judul al-Jihad. Jamal al-Banna berpendapat, jihad pada masa lalu adalah dukungan dan panggilan untuk “mati” [syahid] di jalan Allah. Tapi, jihad sekarang adalah ajakan untuk “hidup” [berjuang] di jalan Allah.
....anna al-jihad al-yawm laisa huwa an-namut fi sabil Allah. Wa lakin an-nahya fi sabil Allah. Kana shi’ar al-jihad qadim-an, man yubayi’uny ‘ala al-mawt fi sabil Allah. Wa al-yawm fa-inn shi’ar al-jihad man yubayi’uny li al-hayat fi sabil Allah. Lihat Jamal al-Banna, al-Jihad, (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy, 2005), hlm. 121. Tentu konsep dan pandangan Jamal al-Banna ini berbeda dengan teori kakaknya, Hassan al-Banna dan Sayyid Quthub. Syahid atau martir adalah puncak jihad?
Jihad selama ini sering dipersepsikan secara kurang tepat. Seakan-akan jihad itu adalah mati syahid. Padahal, mestinya "hidup" untuk berjihad yang lebih panjang adalah lebih utama. Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa suatu ketika seorang sahabat yunior mendatangi Nabi shalla Allah 'alaih wa sallama dan meminta izin kepada beliau agar ia diikutkan dalam perang. Nabi bertanya, apakah Anda masih mempunyai kedua orang tua? Ya, jawab anak muda tadi. Sabda Nabi: kembalilah ke bilikmu, dan rawatlah kedua orang tuamu. Demikianlah petunjuk Nabi betapa "kehidupan" jauh lebih utama daripada mempersiapkan diri untuk mati syahid? tentu padangan ini belum tentu diterima. Tetapi setidaknya, mati syahid harus dipahami secara benar. jangan sampai tindakan bunuh diri dipersepsikan sebagai martir.
Sesungguhnya, jihad fi sabilillah mengalami evolusi makna. Pada masa awal Islam, makna lain jihad adalah “berperang demi Tuhan”. Terma mujahidin merujuk pada mereka yang berperang di jalan Allah SWT. Belakangan, Ahmad bin Hanbal dan Ishaq ibn Rahawaih memasukkan orang-orang yang menunaikan haji dalam kategori orang-orang yang sedang berjihad. Bahkan, sebagian ulama Hanafiah memasukkan para pelajar (penuntut ilmu pengetahuan) sebagai orang-orang yang sedang berjihad. Yusuf Qardhawi, di era modern ini berpendapat bahwa berdakwah dan mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat (Eropa dan Amerika) merupakan jihad fi sabilillah. Dalam konteks ke-Indonesiaan sangat terkenal fatwa KH. Hasyim Asy’ari tentang resolusi jihad beliau. Menurutnya, memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia adalah termasuk jihad. Oleh karena itu, setiap Muslim yang berada pada radiasi 60 Km dari musuh Belanda dan sekutunya wajib ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pengarang Kitab Mughni al-Muhtaj membunuh kaum musyrik adalah “melunakkan hatinya”. Membunuh benih-benih syirik dalam hatinya, bukan membunuh orangnya. Sepertinya pandangan terakhir ini lebih sejuk dan mencerahkan. Wa Allah a'lam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar