Gallery

Selasa, 29 November 2016

Program Strategis Azerbaijan

Setelah bertemu dengan Direktur Indonesian center di ADU ( Azerbaijan Diller University) dan Direktur baku International Multicultural Center terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi program strategis, sebagai berikut: 1. Perlu short course untuk penguatan academic writing. Sebab, nyatanya ada banyak sarjana yang lebih tertarik untuk menambah wawasan tanpa mengambil program kuliah, by course. Atau mereka membutuhkan wawasan tambahan untuk penguatan keilmuan mereka. 2. Penguatan joint research antar dosen. Dosen bisa berkolaborasi dalam melakukan atau menuntaskan penelitiannya dalam topik tertentu. Saya kira program seperti ini sudah sangat lumrah di Barat. Semakin banyak berkolaborasi dengan pihak luar, semakin tinggi kualitas akademik kajian seorang dosen. 3. Azerbaijan membutuhkan keterlibatan sarjana Indonesia yang memiliki dasar pemahaman keagamaan yang mendalam-- berbasis keilmuan pesantren yang kuat-- untuk membantu pencerahan keagamaan. Di Azerbaijan, umat Islam sebanyak 97% tetapi sudah banyak anak mudanya yang sudah lupa ritual shalat. Barangkali karena mereka terlalu lama dalam kekuasaan Rusia. Alumni Ma'had Aly sangat berperan untuk program ini. Sebab, sejarah keberagamaan Azerbaijan yang lebih mengedepankan esoterisme --semacam Ihya Ulumuddin Imam Al- Ghazali-- masih relevan sampai sekarang ini. Model keberagamaan yang cocok di Baku adalah keberagamaan yang mengedepankan harmoni antara eksoterisme Islam dan esoterisme. Sisi tasawuf dan fiqhi berpadu dalam satu tarikan nafas pemikiran keagamaan. Patut dicatat bahwa Azerbaijan adalah kota tempat lahirnya tokoh- tokoh besar dunia, seperti Yahya Al- Bakwi dan sufi penyair Jalaluddin Rumi yang lahir di Balkh. 4. Belajar dari Azerbaijan yang sangat memprotek radikalisme agama dan ISIS. Pemerintah Azerbaijan memmiliki konsern yang sangat kuat untuk memproteksi berkembangnya benih- benih radikalisme. Siapa pun yang masuk ke wilayah Azerbaijan pasti mendapatkan protek yang sangat kuat untuk masalah radikalisme ini. 5. Dalam kaitan ini pula, barangkali wacana yang pernah dibahas mengenai pentingnya membuat Atase Pendidikan Keagamaan di negara-negara sahabat perlu diakselerasi lagi. Atase ini berfungsi untuk: (a) mengarahkan dan memantau perkembangan studi anak- anak Indonesia, (b) sebagai konselor bagi anak- anak Indonesia yang sedang mengalami masalah di luar negeri, (c) dapat pula mengontrol pergerakan pelajar dan mahasiswa Indonesia di negara tujuan studi, (d) melaporkan kepada Menteri peta dan isu- isu pemikiran Islam atau kehidupan keagamaan yang berkembang di sana. Pengalaman negeri Yaman yang hanya memilki Atase Sosial dan budaya. Mereka tidak bisa melakukan pembinaan studi dan komunikasi yang efektif dengan mahasiswa Indonesia di sana. Atasenya tidak memiliki kompetensi keilmuan yang bisa menghubungkannya dengan para mahasiswa dan pelajar Indonesia di sana. Apalagi komunikasi dengan para masyayikh di Yaman. Akibatnya fatal, mahasiswa Indonesia terjebak di Sha'da sebanyak 150 orang. Dan barangkali, ketika mereka pulang ke Indonesia juga mengalami trauma dan perlu pembinaan khusus agar benih- benih radikal tidak disemai di Indonesia. 6. Barangkali untuk sementara waktu perlu ada moratorium -- meskipun tidak tertulis -- untuk studi di Arab Saudi atau negara- negara yang ditengarai radikal atau mengajarkan ekstrimisme. Pelru pemikiran komprehensif dan langkah-langkah strategis untuk program ini.

Tidak ada komentar: