Gallery

Jumat, 15 April 2016

Pak Ittihad: dari TKI ke Dosen

Pada suatu pagi, saya menuju wisuda sarjana STIT Palapa, Lombok Timur. Di sepanjang perjalanan, saya disopiri oleh pak Ittihad. Salah seorang dosen STIT Palapa. Orangnya santun. Perhatian. Menarik. Antusias. Bercerita dengan kata- kata yang terukur. Dari tutur katanya terlihat bahwa ia seorang yang terpelajar. Ia bukan sopir biasa.
Ia hidup menderita. Ia melanjutkan kuliah di Bali dengan susah payah. Orang tuanya hidup sangat miskin. Di tengah kesulitan hidupnya itu, ia tetap bersemangat untuk melanjutkan kuliah. Orang tuanya tidak mampu membiayainya. Orang tuanya hanyalah orang desa miskin. Tidak tamat sekolah dasar. Ibunya juga mengalami nasib yang sama.
Untuk melanjutkan kuliah magister, pak Ittihad terpaksa mendaftar untuk menjadi tenaga kerja Indonesia di Korea Selatan. Ia harus bekerja keras. Ia harus membanting tulang. Ia bekerja pada sebuah pabrik selama delapan jam dalam sehari. Gajinya lumayan menjanjikan, 11 juta rupiah per- bulannya. Ia harus terus bekerja. Pertama- tama, ia harus melunasi utangnya, 35 juta kepada salah seorang Tuan Guru yang berbaik hati meminjami uang setoran awal ketika pertama kali ke Korea Selatan. Dia terus bekerja sampai tiga tahun lamanya. Setelah itu, ia kembali ke kampung. Ia meneruskan cita- citanya untuk kuliah ke jenjang Magister.
Uangnya, sebagian ia tabung untuk kuliah. Sebagian untuk merenovasi rumah orang tuanya. Ia juga membuat rumahnya sendiri. Sekarang ia sebagai dosen STIT Palapa dengan spesialisasi Manajemen Pendidikan. Ia hidup bahagia dengan dua putera dan puterinya. Isterinya dia kuliahkan sesuai dengan komitmen awalnya dengan sang mertua. Saya tertarik dengan keuletannya. Ketekunannya. Pengalamannya menjadi TKI di Korsel.
Ada banyak cerita menarik yang dibawanya dari Korsel. Orang Korsel adalah tipe pekerja keras. Tidak mudah mengeluh. Ia bisa menyembunyikan kelelahannya ketika sedang bekerja di pabrik. Meskipun sang Korsel itu baru saja dioperasi. Ia tidak akan mudah menceritakan penyakitnya kepada rekan kerjanya. Orang Korsel juga bekerja 8 jam dalam sehari. Ia harus mengangkat beban atau semen 6 ton perhari. Pekerjaan yang sangat berat.
Orang Korsel juga dikenal dengan kebebasannya dalam bergaul sehari- hari. Mirip- mirip Eropalah. Hal yang menarik adalah orang Korsel sangat respek terhadap senior. Orang yang sudah lama sebagai karyawan dalam satu kantor atau pabrik menduduki posisi tertentu. Karyawan sangat dihormati. Mereka juga sangat respek kepada pimpinannya. Bahkan para pekerja tidak berani menatap mata pimpinannya. 
Orang Korsel sangat tepat waktu. Kalau sudah jam 7 pagi seluruh pekerja sudah menunggu bus angkutan. Kalau ada telat satu menit saja, maka dia akan ketinggalan bus. Karena telat, dia tidak akan protes. Dia akan sadar bahwa itu adalah kesalahannya. Ia harus bertanggungjawab atas keterlambatannya itu.
Orang Korsel dalam berpakaian termasuk rapi. Bahkan pekerja pabrik pun kalau di luar ruang kerjanya sangat parlente. Mereka rata-rata memakai jas, berdasi dan sepatu seperti orang Iran. Nanti setelah masuk ruang kerjanya, baru mereka memakai seragam pabrik. Baru katahuan bahwa mereka adalah pekerja kasar. Di luar sana, mereka tidak tampak sebagai pekerja pabrik. 
Ada juga cerita yang unik dan seram-seram. Bahwa pergaulan sangat bebas di Korsel.Para muda-mudi bisa bermesraan di mobil tanpa malu-malu. Justeru kitalah yang malu-malu memandangnya. Bahwa prostitusi juga termasuk legal. Bahwa imitasi alat-alat kelamin pria dan wanita dijual bebas di pasar dan di pinggir jalan.  
Saya terharu dan simpati kepada pak Ittihad yang berjuang di tengah- tengah kesulitan hidupnya. Selamat dan sukses selalu. Teruslah maju. Teruslah berjuang.

Tidak ada komentar: