Gallery

Rabu, 25 Maret 2020

Prof Ahmad Sewang

Prof A. Sewang: Guru dan Mentorku

“Benar kata Kung Fu Panda. Hidup ini penuh misteri. Yesterday is a history. Today is mystery, and tomorrow…. Tak pernah terbayangkan bahwa pada akhirnya Prof Sewang “berselingkuh” dengan puisi”.

Tahun 1991, di perumahan Jalan Mannuruki, Makassar, asap mengepul tebal. Mahasiswa baru –dengan kepala plontos—berlarian keluar asrama. Mereka sambil berlari menuju ke satu titik. Ada asrama mahasiswa yang terbakar. Di samping asrama tersebut ada rumah seorang dosen dan mahasiswa program doktor. Pak Ahmad M. Sewang. Tetapi, waktu itu kami hanya menemukan seorang dosen, ibu Syamsudhdhuha Shaleh, isteri pak Sewang. Kami melihat buku berserakan. Kaca jendela pecah. Bu Ancu sibuk merapikan buku dan barang perabot yang selamat dari amukan si jago merah. Rumah tersebut selamat dari kebakaran. Itulah perkenalan pertama saya dengan keluarga Pak Sewang.
Berselang beberapa bulan setelah itu, sesekali Pak Sewang datang menjemput isterinya ke Fakultas Ushuluddin, IAIN Alauddin Ujung Pandang. Kami mahasiswa Ushuluddin sering menyaksikan pemandangan, pak Sewang mengantar dan menjemput isterinya.
 Manusia Mandar: Manusia Laut
Sewaktu saya ke UIN Alauddin Makassar dalam rangka sosialisasi KKNI dan SKPI, Prof Sewang memperlihatkan buku barunya. Judul bukunya: SAJAK, Selalu Ada Jalan Keluar. Buku ini adalah hasil kontemplasi intelektual Prof Sewang, bak sebagai akademisi maupun pergualatan beliau dalam dunia birokrasi. Berbagai pandangan disemaikannya, kegundahan hati ditumpahkannya dalam SAJAK. Buku ini memang ditulis dalam bentuk puisi. Komentar saya mengenai buku Prof Sewang:....bernas. Cair. Mengalir seperti air. Reflektif. Inspiratif. Ada hentakan. Ada kejutan. Merasuk. Menyindir. Puisi terkadang menghibur, tapi juga ada satire. Ada kegalauan. Ada kegelisahan. Ada harapan. Ada kerinduan.Ada misi profetik. Mengajak. Mengayomi. Menuntun. Merangkul. Menyalakan nurani yang hampir padam. Permenungannya memecahkan kebekuan. Karya ini semakin meneguhkan penulisnya sebagai manusia Mandar. Orang laut. Selamat dan semoga Prof Sewang semakin cemerlang dalam berkarya. Mengisi belantika pemikiran Islam di nusantara.
Buku SAJAK karya Prof Sewang ini berkait kelindan dengan latar hidup beliau sebagai seorang Mandar. Beliau lahir di Pambusuang. Orang Pambusuang terkenal dengan logat dan dialeknya yang khas, terbuka, suka berdebat, suka mengkritik, bahkan sering juga “mengejek”, pa’elle.  Ada kisah orang Pambusuang digelari dengan Haji Kurki (karena ia naik haji dengan biaya menjual ternak ayam). Ada juga yang setiap menghadiri kenduri atau selamatan selalu tampak memakai sarung baru. Karena sarung dipakainya itu setiap dicuci, capnya selalu diambil dan setelah kering dipasang lagi. Demikian seterusnya.

Mandar bermakna mandarraq yang berarti membaca atau memukul. Jadi menurut Prof Basri Hasanuddin, orang Mandar pada dirinya bisa menyatu kecendekiaan dan kekerasan sekaligus. Orang Mandar bisa menggunakan otak dan ototnya sekaligus. Mandar dapat pula bermakna saling menguatkan, sipamandaq. Ada juga yang memahaminya sebagai sungai menurut orang Balanipa. Menurut Prof Mochtar Husain, kata Mandar diduga berasal dari bahasa Arab, nadara-yanduru- nadran, dan diubah menjadi Mandar. Yakni wilayah yang jarang penduduknya. Selanjutnya A. Saiful Sinrang, Mandar bisa berarti cahaya. Hal yang menarik adalah kata Mandar yang bermakna sungai. Hal ini jika dikaitkan dengan kerajaan besar seperti Mesopotamia, dengan sungai Tigris, Kerajaan Hindustan dengan sungai Gangga, Fir'aun dengan sungai Nielnya, Kerajaan Sriwijaya dengan Sungai Musi, kerajaan Majapahit dengan Bengawan Solonya. Ini berarti kerajaan Mandar adalah besar. Bahkan diperkuat dengan situs Kalumpang, Mamuju. Kalumpang adalah situs tertua di Indonesia yang memiliki artifak paling lengkap di nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Moyang Austranesia ada di Kalumpang. Tembikar, tombak, kampak sebagai bukti sejarah. Mandar memang penuh pesona. Gadis Mandar ibarat Beruq-beruq, minang malassu. Minang sarombong. Bunga melati, tidak membosankan. Semakin lama, semakin semerbak wanginya. Ada filosofi Mandar sebagaimana yang diungkapkan Prof Basri Hasanuddin, dipameang pai dalleq. Dileteangngi pai. Apa andiang dalleq pole mettuala. Rezeki harus dicari. Harus dirintiskan titian. Tak ada rezeki yang datang berserah diri.

Misi Profetik
Ciri Prof Sewang setiap kesempatan selalu membawa cerita-cerita menarik. Nasehat-nasehat. Peringatan-peringatan. Biasa juga bercerita dengan memakai tamsil. Orangnya halus dan tidak menyinggung perasaan. Selalu memperlihatkan hormat kepada siapa pun, baik yunior apalagi senior. Kata-katanya lembut. Prof Sewang juga seorang yang sangat perhatian. Ia juga sering berdiri “di tengah-tengah” kalau ada dua kubu yang berseteru. Sikapnya inilah sering disalahpahami sebagai kurang tegas. Ia sangat memegang teguh kebenaran logika, dan nalar sehat. Pada kondisi apapun Pak Sewang selalu memerhatikan akal sehat. Akal sehat pastilah menjadi pemenang. Ia sesungguhnya sosok yang idealis.

1.      Orang tulus tidak takut kepada ancaman, dan tidak terhibur karena pujian ( Prof. Ahmad Sewang).
2.      Saya mendapat cerita dari Prof Ahmad Sewang. Bahwa Buya Hamka pernah berkata: berbahagialah orang bodoh karena kebodohannya. Karena mereka tidak pernah memikirkan hal hal yang tidak penting diketahuinya. Dan celakalah orang pintar karena pengetahuannya. Karena ia akan terbelenggu dengan kepintarannya.

Prof Sewang di antara Kawan

 

Baharuddin Lopa

 

Prof Baharuddin Lopa dikenal sebagai sosok penegak dan pendekar hukum di Indonesia. Beliau dikenal sebagai seorang yang tegas, konsisten, berani, jujur dan sangat independen. Bahkan menurut koleganya, pada setiap tempat tugas barunya, Pak Lopa selalj berbeda dan bertabrakan dengan pejabat teras di daerah tersebut. Di Aceh, Kalimantan Barat umpamanya. Pak Lopa biasanya juga tidak lama menjabat di suatu tempat. Kalau ditanyakan kepada beliau, apakah suasana seperti itu menunjukkan ketidaksenangan pak Harto kepadanya, pak Lopa menjawab bahwa justeru itulah bukti pemerintah sayang kepadanya. Jadi, Pak Lopa ini orang sangat husnuz zan, berbaik sangka kepada pimpinan. Suatu waktu, Husni Jamaluddin --presiden penyair--yang juga koleganya bertanya: mengapa Pak Lopa demikian lurus dalam menegakkan hukum. Beliau menjawab dalam bahasa Mandar: masiri' tau, apa Mandar'i tau. Kita malu berbuat tidak jujur sebagai orang Mandar. Di harian Republika, beliau pernah menulis artikel dengan judul: Hal kecil berdampak besar. Pak Lola bercerita tentang suasana pembahasan kitab kuning yang dipimpin oleh pamannya di Pambusuang, Polewali Mandar. Telaah dan pembacaan kitab tidak berjalan lancar sebagaimana biasanya. Masalah sulit terpecahkan. Sampai Kyai Muhammad bertanya kepada keluarganya yang menyuguhkan minuman. Darimana sumber hidangan yang dihidanhkan kala itu? Setelah diusut, ternyata kayu yang dipakai menanak air panas bersumber dari daun kelapa kering sang tetangga. Daun kelapa sang tetangga tersebut diambilnya tanpa sepengetahuan tetangganya yang kebetulan sedang berada di seberang. Kyai Muhammad memerintahkan keluarganya agar mencari orang tersebut dan meminta halal daun kelapanya. Demikianlah, setelah semuanya selesai, lancar pulalah pengajian kitab tadi. Suasana keluarga santri yang seperti itulah yang menerpa pak Lopa. Sangat ketat dan hati-hati dalam memelihara kebersihan makanan yang dikonsumsinya. Pada suatu waktu, saya membaca testimoni Dr Hamid Awaluddin di harian Kompas. Pak Hamid ketika sedang menulis disertasi dan sedang berada di Indonesia untuk kepentingan riset. Pak Hamid menemui pak Lopa di Kantornya, Lapas Salemba, karena beliau sebagai Dirjen Lapas. Setelah wawancara selesai, dan tibalah waktu makan siang. Pak Lopa memiliki nasi kotak. Nasi kotaknya itu dibagi dua, separoh untuk beliau dan selebihnya untuk pak Hamid, demikian pula dengan lauknya. Ayam goreng juga dibagi dua. Setelah selesai makan, pak Lopa memberi ongkos angkot sebanyak sekitar rp.7.500 kepada pak Hamid, sambil menunjukkan arah ke Blok M menuju Ciputat lengkap dengan keterangan metromininya. Pak Lopa dengan dialek Mandarnya berucap: kalau Anda tiba di panyingkul--perapatan--naik oto merah--naik mobil merah. Demikian kejujuran, kesederhanaan hidup pak Lopa. Sewaktu saya masih di pesantren Salafiyah, Bonde, Campalagian, guru saya Kyai Muhammad Zein kedatangan tamu dari Jakarta. Seorang ibu berkulit putih yang ditemani oleh puterinya. Mereka naik mobil Datsun. Belakangan saya tahu bahwa beliau adalah ibu Hajnah Indrawulan, isteri pak Lopa, sang pendekar hukum itu. Waktu sekitar tahun 1984 atau 1985. Si ibu itu bercerita bahwa kakak kandungnya ada masalah pembagian harta warisan. Kalau perkaranya sampai ke pengadilan, maka pak Lopa tidak akan membantunya. Sang isteri akan diperlakukan layaknya orang biasa yang sedang mencari keadilan. Tidak ada perlKuan istimewa. Kyai saya menasehati sang ibu untuk mendukung suaminya yang demikian tegasnya dalam menegakkan keadilan. Sang Ibu, lalu memperkenalkan puterinya yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Indonesia, Jakarta. Pada saat terjadi UMI "berdarah", pak Lopa turun lapangan untuk mengecek langsung peristiwa tersebut. Husain Abdullah, wartawan RCTI menawarkan tumpangan kepada pak Lopa, tapi beliau menolak dengan halus, dan memilih untuk naik angkot. Kata pak Lopa, ia sudah mendapatkan SPPD. Jadi kalau menerima tawaran pak Husain Abdullah, berarti beliau sudah menyeleweng. Pada malam harinya, saya membuat janji dengan kawan saya Dr Wajidi agar saya bisa silaturahim dengan pak Lopa. Saya tiba di rumah kediaman beliau ba'da maghrib. Saya sesungguhnya tidak memiliki agenda penting. Saya hanya ingin bertemu dengan sang pendekar hukum yang sudah lama menjadi buah bibir itu. Setelah kami masuk di ruang tamu, seorang perempuan paroh baya turun dari lantai dua dan bertanya apa maksud kedatangan kami. Saya jawab sekenanya: mau silaturahim. Pak Lopa rupanya mendengar percakapan singkat kami. Dan beliau setengah berteriam bertanya: innai dio. Siapa yang datang. Si perempuan paroh baya menjawab: temannya wajidi--yang kebetulan masih keponakan pak Lopa. Pak lopa bertanya lagi: apa akkattana. Apa maksud tujuannya. Tidak lama kemudian, beliau menemui kami di lantai satu. Beliau langsung mempersilKan kami untuk makan malam. Sambil makan, saya mengajukan perrtanyaan sekitar huru hRa makassar. Sambil makan, saya juga melihat lihat perpustakaan pribadi pak Lopa yang ternyatabuku karya Sayyid Quthub, tafsir fi zilal al.Quran menjadi koleksi utama beliau. Tidak lama kemudian, datanglah seorang ibu Cina yang sambil menangis ia juga mengadukan masalahnya yang terkait dengan tanah. Pak Lopa dengan sangat bedsemangat akan membantu sang ibu itu. Demikianlah secuil perkenalan saya dengan sang pendekar hukum itu.



  


Perdebatan Ulama Mandar

Perdebatan antara Kyai Hasan al-Mahdaly dan Kyai Muhammad Shaleh. Dialog sekitar teologis yang berkaitan dengan ketentuan Tuhan yang tidak berubah-ubah. Dicontohkan sebuah kayu besar yang terdapat di dalam hutan. Kemudian diambil untuk menjadi perahu layar. Ada pertanyaan dari jamah, apakah Allah mengetahui dan bisa melihat bahwa kayu yang dibuat dari kayu besar itu akhirnya akan tenggelam di tengah laut. Apakah ilalang issanna anna peitanna puang bahwa iya die ayue accurri atau tallanni.
K. Muhammad Shaleh: naissanni anna naita toi Puang Allah taala bahwa iya itingo lopi, accur anna tallangi. Apa dasarnya, huwa al-alim al-ghaibi wal syahadat, alam nyata dan ghaib dalam pengetahuan dan penglihatan Tuhan.
Kyai Hasan al-Mahdaly, ilalang issanna Puang Allah ta’ala, tapi andiappai naita. Ini pandangan fiqh. Kita tidak bisa mengungkap kebenaran secara teologis dengan menyimak dialog ini. Tetapi memang dalam pemahaman fiqhi dan tasawuf terjadi perbedaan latar belakang berpikir.
Tetapi ada solusinya?

Bagaimana pandangan Anda tentang pohon kayu besar di gunung. Apakah Tuhan mengetahui Ilalang issanna puang bahwa dalam kayu itu akan menjadi sampan. 

Tidak ada komentar: