Prof
A. Sewang: Guru dan Mentorku
“Benar kata Kung Fu
Panda. Hidup ini penuh misteri. Yesterday
is a history. Today is mystery, and tomorrow…. Tak pernah terbayangkan
bahwa pada akhirnya Prof Sewang “berselingkuh” dengan puisi”.
Tahun 1991, di
perumahan Jalan Mannuruki, Makassar, asap mengepul tebal. Mahasiswa baru
–dengan kepala plontos—berlarian keluar asrama. Mereka sambil berlari menuju ke
satu titik. Ada asrama mahasiswa yang terbakar. Di samping asrama tersebut ada
rumah seorang dosen dan mahasiswa program doktor. Pak Ahmad M. Sewang. Tetapi,
waktu itu kami hanya menemukan seorang dosen, ibu Syamsudhdhuha Shaleh, isteri
pak Sewang. Kami melihat buku berserakan. Kaca jendela pecah. Bu Ancu sibuk
merapikan buku dan barang perabot yang selamat dari amukan si jago merah. Rumah
tersebut selamat dari kebakaran. Itulah perkenalan pertama saya dengan keluarga
Pak Sewang.
Berselang beberapa
bulan setelah itu, sesekali Pak Sewang datang menjemput isterinya ke Fakultas
Ushuluddin, IAIN Alauddin Ujung Pandang. Kami mahasiswa Ushuluddin sering
menyaksikan pemandangan, pak Sewang mengantar dan menjemput isterinya.
Manusia
Mandar: Manusia Laut
Sewaktu saya ke UIN
Alauddin Makassar dalam rangka sosialisasi KKNI dan SKPI, Prof Sewang
memperlihatkan buku barunya. Judul bukunya: SAJAK, Selalu Ada Jalan Keluar.
Buku ini adalah hasil kontemplasi intelektual Prof Sewang, bak sebagai
akademisi maupun pergualatan beliau dalam dunia birokrasi. Berbagai pandangan
disemaikannya, kegundahan hati ditumpahkannya dalam SAJAK. Buku ini memang
ditulis dalam bentuk puisi. Komentar saya mengenai buku Prof Sewang:....bernas.
Cair. Mengalir seperti air. Reflektif. Inspiratif. Ada hentakan. Ada kejutan.
Merasuk. Menyindir. Puisi terkadang menghibur, tapi juga ada satire. Ada
kegalauan. Ada kegelisahan. Ada harapan. Ada kerinduan.Ada misi profetik.
Mengajak. Mengayomi. Menuntun. Merangkul. Menyalakan nurani yang hampir padam.
Permenungannya memecahkan kebekuan. Karya ini semakin meneguhkan penulisnya
sebagai manusia Mandar. Orang laut. Selamat dan semoga Prof Sewang semakin
cemerlang dalam berkarya. Mengisi belantika pemikiran Islam di nusantara.
Buku SAJAK karya Prof
Sewang ini berkait kelindan dengan latar hidup beliau sebagai seorang Mandar.
Beliau lahir di Pambusuang. Orang Pambusuang terkenal dengan logat dan
dialeknya yang khas, terbuka, suka berdebat, suka mengkritik, bahkan sering
juga “mengejek”, pa’elle. Ada kisah orang Pambusuang digelari dengan
Haji Kurki (karena ia naik haji
dengan biaya menjual ternak ayam). Ada juga yang setiap menghadiri kenduri atau
selamatan selalu tampak memakai sarung baru. Karena sarung dipakainya itu
setiap dicuci, capnya selalu diambil dan setelah kering dipasang lagi. Demikian
seterusnya.
Mandar bermakna mandarraq yang berarti membaca atau memukul. Jadi
menurut Prof Basri Hasanuddin, orang Mandar pada dirinya bisa menyatu
kecendekiaan dan kekerasan sekaligus. Orang Mandar bisa menggunakan otak dan
ototnya sekaligus. Mandar dapat pula bermakna saling menguatkan, sipamandaq.
Ada juga yang memahaminya sebagai sungai menurut orang Balanipa. Menurut Prof
Mochtar Husain, kata Mandar diduga berasal dari bahasa Arab, nadara-yanduru-
nadran, dan diubah menjadi Mandar. Yakni wilayah yang jarang penduduknya.
Selanjutnya A. Saiful Sinrang, Mandar bisa berarti cahaya. Hal yang menarik
adalah kata Mandar yang bermakna sungai. Hal ini jika dikaitkan dengan kerajaan
besar seperti Mesopotamia, dengan sungai Tigris, Kerajaan Hindustan dengan
sungai Gangga, Fir'aun dengan sungai Nielnya, Kerajaan Sriwijaya dengan Sungai
Musi, kerajaan Majapahit dengan Bengawan Solonya. Ini berarti kerajaan Mandar
adalah besar. Bahkan diperkuat dengan situs Kalumpang, Mamuju. Kalumpang adalah
situs tertua di Indonesia yang memiliki artifak paling lengkap di nusantara,
bahkan di Asia Tenggara. Moyang Austranesia ada di Kalumpang. Tembikar, tombak,
kampak sebagai bukti sejarah. Mandar memang penuh pesona. Gadis Mandar ibarat
Beruq-beruq, minang malassu. Minang sarombong. Bunga melati, tidak membosankan.
Semakin lama, semakin semerbak wanginya. Ada filosofi Mandar sebagaimana yang
diungkapkan Prof Basri Hasanuddin, dipameang
pai dalleq. Dileteangngi pai. Apa andiang dalleq pole mettuala. Rezeki
harus dicari. Harus dirintiskan titian. Tak ada rezeki yang datang berserah
diri.
Misi
Profetik
Ciri Prof Sewang setiap kesempatan selalu membawa
cerita-cerita menarik. Nasehat-nasehat. Peringatan-peringatan. Biasa juga
bercerita dengan memakai tamsil. Orangnya halus dan tidak menyinggung perasaan.
Selalu memperlihatkan hormat kepada siapa pun, baik yunior apalagi senior.
Kata-katanya lembut. Prof Sewang juga seorang yang sangat perhatian. Ia juga
sering berdiri “di tengah-tengah” kalau ada dua kubu yang berseteru. Sikapnya
inilah sering disalahpahami sebagai kurang tegas. Ia sangat memegang teguh
kebenaran logika, dan nalar sehat. Pada kondisi apapun Pak Sewang selalu
memerhatikan akal sehat. Akal sehat pastilah menjadi pemenang. Ia sesungguhnya
sosok yang idealis.
1. Orang tulus tidak takut kepada
ancaman, dan tidak terhibur karena pujian ( Prof. Ahmad Sewang).
2. Saya mendapat cerita dari Prof Ahmad
Sewang. Bahwa Buya Hamka pernah berkata: berbahagialah orang bodoh karena
kebodohannya. Karena mereka tidak pernah memikirkan hal hal yang tidak penting
diketahuinya. Dan celakalah orang pintar karena pengetahuannya. Karena ia akan
terbelenggu dengan kepintarannya.
Prof
Sewang di antara Kawan
Baharuddin Lopa
Prof
Baharuddin Lopa dikenal sebagai sosok penegak dan pendekar hukum di Indonesia.
Beliau dikenal sebagai seorang yang tegas, konsisten, berani, jujur dan sangat
independen. Bahkan menurut koleganya, pada setiap tempat tugas barunya, Pak
Lopa selalj berbeda dan bertabrakan dengan pejabat teras di daerah tersebut. Di
Aceh, Kalimantan Barat umpamanya. Pak Lopa biasanya juga tidak lama menjabat di
suatu tempat. Kalau ditanyakan kepada beliau, apakah suasana seperti itu
menunjukkan ketidaksenangan pak Harto kepadanya, pak Lopa menjawab bahwa
justeru itulah bukti pemerintah sayang kepadanya. Jadi, Pak Lopa ini orang
sangat husnuz zan, berbaik sangka kepada pimpinan. Suatu waktu, Husni
Jamaluddin --presiden penyair--yang juga koleganya bertanya: mengapa Pak Lopa
demikian lurus dalam menegakkan hukum. Beliau menjawab dalam bahasa Mandar:
masiri' tau, apa Mandar'i tau. Kita malu berbuat tidak jujur sebagai orang Mandar.
Di harian Republika, beliau pernah menulis artikel dengan judul: Hal kecil
berdampak besar. Pak Lola bercerita tentang suasana pembahasan kitab kuning
yang dipimpin oleh pamannya di Pambusuang, Polewali Mandar. Telaah dan
pembacaan kitab tidak berjalan lancar sebagaimana biasanya. Masalah sulit
terpecahkan. Sampai Kyai Muhammad bertanya kepada keluarganya yang menyuguhkan
minuman. Darimana sumber hidangan yang dihidanhkan kala itu? Setelah diusut,
ternyata kayu yang dipakai menanak air panas bersumber dari daun kelapa kering
sang tetangga. Daun kelapa sang tetangga tersebut diambilnya tanpa
sepengetahuan tetangganya yang kebetulan sedang berada di seberang. Kyai
Muhammad memerintahkan keluarganya agar mencari orang tersebut dan meminta
halal daun kelapanya. Demikianlah, setelah semuanya selesai, lancar pulalah
pengajian kitab tadi. Suasana keluarga santri yang seperti itulah yang menerpa
pak Lopa. Sangat ketat dan hati-hati dalam memelihara kebersihan makanan yang
dikonsumsinya. Pada suatu waktu, saya membaca testimoni Dr Hamid Awaluddin di
harian Kompas. Pak Hamid ketika sedang menulis disertasi dan sedang berada di
Indonesia untuk kepentingan riset. Pak Hamid menemui pak Lopa di Kantornya,
Lapas Salemba, karena beliau sebagai Dirjen Lapas. Setelah wawancara selesai,
dan tibalah waktu makan siang. Pak Lopa memiliki nasi kotak. Nasi kotaknya itu
dibagi dua, separoh untuk beliau dan selebihnya untuk pak Hamid, demikian pula
dengan lauknya. Ayam goreng juga dibagi dua. Setelah selesai makan, pak Lopa
memberi ongkos angkot sebanyak sekitar rp.7.500 kepada pak Hamid, sambil
menunjukkan arah ke Blok M menuju Ciputat lengkap dengan keterangan
metromininya. Pak Lopa dengan dialek Mandarnya berucap: kalau Anda tiba di
panyingkul--perapatan--naik oto merah--naik mobil merah. Demikian kejujuran,
kesederhanaan hidup pak Lopa. Sewaktu saya masih di pesantren Salafiyah, Bonde,
Campalagian, guru saya Kyai Muhammad Zein kedatangan tamu dari Jakarta. Seorang
ibu berkulit putih yang ditemani oleh puterinya. Mereka naik mobil Datsun.
Belakangan saya tahu bahwa beliau adalah ibu Hajnah Indrawulan, isteri pak
Lopa, sang pendekar hukum itu. Waktu sekitar tahun 1984 atau 1985. Si ibu itu
bercerita bahwa kakak kandungnya ada masalah pembagian harta warisan. Kalau
perkaranya sampai ke pengadilan, maka pak Lopa tidak akan membantunya. Sang
isteri akan diperlakukan layaknya orang biasa yang sedang mencari keadilan.
Tidak ada perlKuan istimewa. Kyai saya menasehati sang ibu untuk mendukung
suaminya yang demikian tegasnya dalam menegakkan keadilan. Sang Ibu, lalu
memperkenalkan puterinya yang sedang menempuh pendidikan di Universitas
Indonesia, Jakarta. Pada saat terjadi UMI "berdarah", pak Lopa turun
lapangan untuk mengecek langsung peristiwa tersebut. Husain Abdullah, wartawan
RCTI menawarkan tumpangan kepada pak Lopa, tapi beliau menolak dengan halus,
dan memilih untuk naik angkot. Kata pak Lopa, ia sudah mendapatkan SPPD. Jadi
kalau menerima tawaran pak Husain Abdullah, berarti beliau sudah menyeleweng.
Pada malam harinya, saya membuat janji dengan kawan saya Dr Wajidi agar saya
bisa silaturahim dengan pak Lopa. Saya tiba di rumah kediaman beliau ba'da
maghrib. Saya sesungguhnya tidak memiliki agenda penting. Saya hanya ingin
bertemu dengan sang pendekar hukum yang sudah lama menjadi buah bibir itu.
Setelah kami masuk di ruang tamu, seorang perempuan paroh baya turun dari
lantai dua dan bertanya apa maksud kedatangan kami. Saya jawab sekenanya: mau
silaturahim. Pak Lopa rupanya mendengar percakapan singkat kami. Dan beliau
setengah berteriam bertanya: innai dio. Siapa yang datang. Si perempuan paroh
baya menjawab: temannya wajidi--yang kebetulan masih keponakan pak Lopa. Pak
lopa bertanya lagi: apa akkattana. Apa maksud tujuannya. Tidak lama kemudian,
beliau menemui kami di lantai satu. Beliau langsung mempersilKan kami untuk
makan malam. Sambil makan, saya mengajukan perrtanyaan sekitar huru hRa
makassar. Sambil makan, saya juga melihat lihat perpustakaan pribadi pak Lopa
yang ternyatabuku karya Sayyid Quthub, tafsir fi zilal al.Quran menjadi koleksi
utama beliau. Tidak lama kemudian, datanglah seorang ibu Cina yang sambil
menangis ia juga mengadukan masalahnya yang terkait dengan tanah. Pak Lopa
dengan sangat bedsemangat akan membantu sang ibu itu. Demikianlah secuil
perkenalan saya dengan sang pendekar hukum itu.
Perdebatan Ulama Mandar
Perdebatan antara Kyai
Hasan al-Mahdaly dan Kyai Muhammad Shaleh. Dialog sekitar teologis yang
berkaitan dengan ketentuan Tuhan yang tidak berubah-ubah. Dicontohkan sebuah
kayu besar yang terdapat di dalam hutan. Kemudian diambil untuk menjadi perahu
layar. Ada pertanyaan dari jamah, apakah Allah mengetahui dan bisa melihat
bahwa kayu yang dibuat dari kayu besar itu akhirnya akan tenggelam di tengah
laut. Apakah ilalang issanna anna peitanna
puang bahwa iya die ayue accurri atau tallanni.
K. Muhammad Shaleh: naissanni anna naita toi Puang Allah taala bahwa
iya itingo lopi, accur anna tallangi. Apa dasarnya, huwa al-alim al-ghaibi wal syahadat, alam nyata dan ghaib dalam
pengetahuan dan penglihatan Tuhan.
Kyai Hasan al-Mahdaly, ilalang issanna Puang Allah ta’ala, tapi
andiappai naita. Ini pandangan fiqh.
Kita tidak bisa mengungkap kebenaran secara teologis dengan menyimak dialog
ini. Tetapi memang dalam pemahaman fiqhi dan tasawuf terjadi perbedaan latar
belakang berpikir.
Tetapi ada solusinya?
Bagaimana pandangan
Anda tentang pohon kayu besar di gunung. Apakah Tuhan mengetahui Ilalang
issanna puang bahwa dalam kayu itu akan menjadi sampan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar