Gallery

Jumat, 30 November 2018

Al-Qur'an Terjemah Bahasa Daerah

Terjemah al-Qur'an Bahasa Daerah 1. Menerjemah juga Menafsir Terjemah adalah pengalihan suatu bahasa ke bahasa yang lain tanpa mengurangi makna kata. Meskipun dalam proses penerjemahan tetap saja mengalami distorsi. Sebab, setiap bahasa memiliki latar budaya dan kesejarahannya masing-masjng. Penerjemah tetap saja berupaya untuk mendekatkan makna dasarnya. Bahasa tertentu memiliki kekayaan tersendiri. Cita rasa bahasa juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses penerjemahan. Menerjemah sesungguhnya juga menafsir. Terjemah tidak hanya sekedar kegiatan pengalihan bahasa. Tapi dalam proses menerjemah juga sudah ada interpretasi. Mulai pada pilihan kata yang tepat sampai penetapan katanya. Semua sudah berkaitkelindan dengan upaya menafsir. 1. Penerjemahan al- Qur'an kedalam bahasa daerah merupakan salah satu program unggulan Pusat Litbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI. Program penerjemahan ini dimaksudkan untuk: (1) Membumikan nilai- nilai al- Qur'an kepada masyarakat luas terutama bagi penutur bahasa daerah; (2) mengusung gerakan moderasi agama; dan (3) ikut berpartisipasi untuk mencegah atau memperlambat kepunahan bahasa daerah. Sebab, nyatanya bahasa daerah sebagai kekayaan intelektual bangsa yang tak ternilai harganya, dari tahun ke tahun terus tergerus dan terancam punah. Bahasa daerah sesungguhnya menyimpan memory dan khazanah serta karakter bangsa kita. Dulu, di Nusantara bahasa daerah tercatat sekitar 1.200-an, sekarang tinggal 700-an. Dan hanya 15 di antaranya yang masih digunakan oleh lebih satu juta orang. Bahasa Banjar termasuk bahasa yang dituturkan oleh lebih 3,5 juta penutur. Seperti diketahui, hingga 2017, Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi, Kemenag telah meluncurkan sebanyak 12 terjemahan Al Qur’an berbahasa daerah. Al Qur’an terjemahan bahasa daerah tersebut meliputi Bahasa Banyumasan, Jawa Tengah, Bahasa Banjar, Kalimantan Selatan, bahasa Sasak, Nusa Tenggara Barat (NTB), bahasa Kaili, Sulawesi Tenggara, bahasa Makassar, bahasa Toraja, bahasa Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, bahasa Batak Angkola, Sumatera Utara, bahasa Minang, Sumatera Barat, bahasa Dayak, Kalimantan Barat, bahasa Ambon, Maluku, dan bahasa Bali. Untuk tahun 2018, alhamdulillah, terjemahan bahasa Bugis, bahasa Madura, dan Bahasa Aceh juga sudah selesai. Bahasa Osing juga sudah selesai pada tahun 2018 ini. Yang sedang dan mulai penerjemahan adalah bahasa Palembang dan bahasa Sunda. Menyusul bahasa Lampung, bahasa Jambi, bahasa Muna, bahasa Mandar, dan bahasa Rejang. 2. Program penerjemahan al- Qur'an Bahasa Daerah ini dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman ayat-ayat suci al-Quran. Al-Quran al-Karim adalah bacaan mulia bagi umat manusia. Bacalah dan ambillah apa-apa yang mudah bagimu dari al- Quran. ....faqra'u ma tayassara min al- Quran (Surah al- Muzzammil ayat 20). Itulah salah satu sisi kemukjizatan al- Quran bisa dipahami dengan muda oleh umatnya. Al-Quran ini diturunkan bi lisani qawmihi....dengan lisan kaumnya. Ada ulama yang memahami frase....bi lisani qawmihi... ini bahwa siapa pun yang percaya kepada al- Quran, maka akan mudah baginya untuk memahami ayat- ayat dan signal- signal kebenaran al- Quran. Barangkali inilah sebabnya, mengapa ulama kita dari dulu sampai sekarang terus bersemangat untuk menerjemahkan al- Quran kedalam bahasa Melayu, Indonesia dan bahkan bahasa daerah. Tersebutlah Syeikh Abdul Rauf al- Singkili yang menulis Kitab Tarjumanul Mustafid sebagai terjemahan pertama al- Quran kedalam bahasa Melayu. Prof Mahmud Yunus dengan Terjemah al- Quran al- Karimnya, Buya Hamka dengan Tafsir Al- Azharnya, Ahmad Hassan dengan Tafsir al- Furqannya, dan Kyai Bisri Mustofa dengan Tafsir al- Ibriz-nya. Bahkan seorang sastrawan kawakan H.B Jassin juga menulis terjemah al- Quran yang beliau sebut sebagai al- Quran al- Karim Bacaan Mulia. 3. Moderasi Agama dalam al- Quran Ke depan kita akan fokus untuk menerjemahkan ayat- ayat al- Quran yang memuat ajakan dan ajaran moderasi agama. Ada terma-terma tertentu yang harus menjadi perhatian bersama, seperti kata kafir, musyrik, zalim, nashara, Yahudi, al- sabi'in, jihad, al-qital, syuhada, thaghut, daulah, khalifah, al-Islam, al-Salam, dst. Seperti halnya dengan terma jihad yang biasa diterjemahkan dengan the holy war, perang suci. Shahid atau syuhada, mati sebagai martir adalah merupakan dambaan umat Islam awal. Bahkan sekarang pun, mati syahid merupakan dambaan sebagian orang yang menyatakan diri sebagai pejuang Islam. Tersebutlah slogan: ' isy kariman atau mut syahidan. Hidup mulia atau mati secara syahid. Betulkah ajakan ini, berjuang di jalan Allah Swt haruslah berujung dengan kematian. Mengapa panggilan jihad dimaknai "harus mati" di jalan Allah. Apakah tidak lebih mulia jika kita berjuang dan tetap hidup mulia di jalan Allah Swt. Bukankah al-Quran justeru menganjurkan agar kita selalu meninggal dalam keadaan muslim (pasrah total dan berserah diri kepada Allah). Sebagaimana Khatib jumat selalu membaca QS Ali Imran ayat 102, .....ya ayyuha al alzina amanu ittaqu Allah haqqa tuqatih. Wa la tamutunna illa wa antum muslimun... ( Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah Swt dengan sebenar- benarnya taqwa. Dan janganlah sekali-kali mati kecuali dalam keadaan muslim ( pasrah total kepada Allah Swt). Kita juga pada setiap harinya selalu mewiridkan:...Allahumma anta al-salam, wi minka al-salam, wa ilaika ya'udu al-salam. Fa hayyina rabbana bi al-salam. Wa adkhilna al jannata daral salam. Ya zal jalal wal ikram. Bahwa inti ajaran Islam dan al- Quran adalah damai dan menebarkan kedamaian, keselamatan, ketentraman kepada seluruh makhluk.

Tidak ada komentar: