Gallery

Sabtu, 15 September 2018

Naskah Kraton Yogyakarta

Kraton Yogyakarta Pada suatu pagi, Tanggal 7 juli 2018, saya berkunjung ke Perpustakaan Widya Budaya Kraton Yogyakarta. Tidak banyak yang tahu bahwa di dalam Kraton Yogya terdapat perpustakaan yang menyimpan banyak manuskrip. Saya bertanya dua kali, baru bertemu perpustakaan Sultan Yogyakarta tersebut. Selama ini, Museum Sono Budoyo yang terkenal dan bangunannya relatif megah, tepat di depan Alun- Alun Yogyakarta. Pada pintu masuk perpustakaan ada tulisan: no entrance, dilarang masuk. Ternyata di balik pintu tersebut ada sebuah bangunan yang cukup tinggi, sederhana, tanpa tanda- tanda bahwa di balik temboknya yang kokoh tersimpan ratusan manuskrip dan buku- buku sejarah kesultanan Yogyakarta berikut beberapa katalognya. Saya bertemu dengan pak Candra dan KRTPurwodiningrat. Pak Candra adalah pegawai yang pernah melanglang buana di Jakarta. Ia bercerita bahwa sudah pernah 20 tahun merasakan sumpeknya kota Jakarta. Ia pada akhirnya memilih mengabdi di perpustakaan Kraton Yogyakarta. KRT Purwodiningrat adalah pensiunan pegawai Balai Pustaka. Pada umurnya yang sudah senja, ia memilih untuk mengabdi dan terus melakukan transliterasi karya dan manuskrip kesultanan Yogyakarta. Ia sanggup menerjemahkan dan mengetik langsung sekitar 6 lembar perhari. Ia sedang mentransliterasi Naskah Gianti yang memuat serba- serbi sejarah kesultanan Yogyakarta. Sejarah perang, sejarah kota, semua ada di dalam naskah Gianti. Dari cerita pak Candra, bahwa Thomas Rafless ketika kalah perang memboyong semua manuskrip Kraton Yogyakarta. Semua diangkut ke Inggeris. Konon, hanya dua manuskrip yang tertinggal atau ditinggal. Satu manuskrip al- Quran al- Karim yang berornamen indah. Berat al- Quran tersebut sekitar 5 kg. Ada lagi naskah Surya Raja yang memuat kisah raja- raja Yogyakarta. Ironisnya, manuskrip- manuskrip yang dibawa lari Thomas Rafless tersebut, kini berada di Inggeris. Dan celakanya, tidak mudah untuk mengaksesnya karena milik Yayasan keluarga. Sehingga, sesungguhnya kita telah mengalami keterputusan intelektual. Ini kerugian bagi bangsa Indonesia. Kita kehilangan "memori kolektif" sebagai bangsa besar.

Tidak ada komentar: