Gallery

Sabtu, 02 Juli 2016

The Traveller: Sang Musafir

Membaca novel The Traveller karya Sadik Yalsizucanlar seakan kita menelusuri aspek batin terdalam manusia. Setidaknya dengan membaca novel ini, kita mendapatkan dua hal. Pertama, melancong ke dalam batin terdalam manusia. Kedua, melancong ke wilayah- wilayah yang telah dilihat sang musafir sendiri, Ibnu 'Araby. Sufi- filosof muslim terbesar dan paling banyak dikutip dan dibicarakan. Novel ini mengasyikkan karena penuh dengan gaya pengungkapan yang dramatis, ajaib dan penuh petualangan. Dan bagi saya, yang paking menarik adalah kemampuan penulisnya, Sadik dalam merumuskan ungkapan pelik ibnu 'Araby menjadi renyah dan mudah dicerna. Terlebih lagi, novel ini ditulis pendek pada setiap babnya. Jadi, dapat memudahkan bagi pembaca, apapun latar belakang pendidikan dan profesinya. Dikisahkan. Suatu waktu ibnu ' Araby menjalankan pertapa yang ekstrim. Sampai beliau tidak makan dalam seminggu. Matanya cekung. Ia pun demam tinggi. Di tengah penderitaan yang mendera, Abdullah, muridnya bertanya, mengapa Sang kekasih membiarkan kekasihnya menderita seperti ini. Maksudnya, jika engkau dekat dengan yang Maha Kuasa, mengapa hidupmu menderita seperti ini. Dalam kegelapan malam, Ibnu Araby meluruskan telunjuknya menghadapkannya ke langit. Lalu, beliau meniup telunjuknya. Telunjuknya menyala, seperti lilin kecil yang menerangi kegelapan malam. Dengan telunjuknya yang bercahaya itu, ibnu Araby melanjutkan shalat tahajjudnya. Diceritakan lagi bahwa suatu waktu, Ibnu Araby bertemu dengan Jalaluddin Rumi. Dalam pertemua tersebut keduanya menyampaikan pujian. Ibnu Araby menyapa Rumi dengan sapaan, wahai Sultan. Kalu Rumi pun memuji Ibnu Araby dengan sapaan, sultan di atas sultan. Pertemuan yang mengharukan itu terjadi pada sebuah madrasah. Suatu hari, ibnu Araby larut dalam zikirnya. Allah, Allah! Muridnya bertanya, mengapa cuma menyebut zikir Allah, Allah! Dan tidak dengan kalimat tahlil yang sempurna, la ilah illa Allah. Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Tuhan. Ibnu Araby, nafasku di Tangan Allah, bukan di tanganku. Aku takut mati karena penyangkalan: la. Tidak!

Tidak ada komentar: