Gallery

Jumat, 15 Desember 2017

Terapi Rumi

Terapi Rumi dalam al- Masnawi Mari kembalilah dari semak berduri, Datanglah ke taman bunga mawar, (Jalaluddin Rumi) Suara Rumi terbersit dalam puisinya perlu didengar manusia di seluruh dunia, Di Timur maupun Barat. Terlebih pada masa modern ini ( komentar R.A Nicholson). Abad ke 21 adalah abad kearifan. Siapa yang tidak memiiliki kebijaksanaan, maka hidupnya akan sia- sia. Ibarat menyelam dalam kedalaman lautan, kita harus memiliki peralatan menyelam. Agar kita selamat dan menemukan harta karun kearifan di "samudera". Jika Anda bertanya, bagaimana saya bisa hidup bahagia dan sukses? Saya mengatakan, lihat dengan mata anda apa yang ditawarkan oleh Maulana Rumi. Suatu hari, Abu Jahal melihat Rasulullah shalla Allah alaih wa sallama, lalu berkata: Dengan melihatmu Muhammad, saya semakin yakin betapa buruknya keturunan Bani Hasyim. Nabi menimpali, sesungguhnya engkau telah melampaui batas, tapi apa yang kamu katakan adalah benar. Tak lama kemudian, datanglah Abu Bakar, dan ketika melihat Rasulullah, ia berkata: anta syamsum, ya rasulallah, engkau laksana matahari, wahai rasulallah. Sinarmu kuat menyinari bumi. Nabi menjawab, engkau benar wahai Abu Bakar. Para sahabat menyaksikan dua peristiwa tersebut. Nabi kemudian menjelaskan, aku adalah sebuah cermin. Siapa yang melihatku sesungguhnya ia sedang melihat dirinya sendiri. Rumi berkata: kamu tahu mengapa cermin tidak memantulkan cahaya bayanganmu? Itu karena karat di wajahmu belum dibersihkan. Bersihkanlah "kolam hati", maka badan akan bersih dengan sendirinya, penuhilah kolam itu dengan kebaikan. Hilanglah keburukan dengan sendirinya. Kunci selamat dari keburukan adalah bertahan dengan kebaikan. Bertarung melawan keburukan sama halnya dengan berjuang menghilangkan kotoran. Membersihkan kotoran lebih mudah karena akan hilang dengan sendirinya, (h. 145). Hal yang menarik buku Prof Nevzat Tarhan dibumbui dengan kisah- kisah hikmah. Seperti kisah si Badui dan sang filsuf. Seorang Badui meletakkan dua karung berat di atas punggung untanya. Ia kemudian duduk di antara dua karung tsb. Tak lama kemudian datanglah seseorang yang mengajaknya berbincang dan bertanya dari mana asalnya dan hendak ke mana? Apa isi kedua karung ini, tanya si filsuf? Badui menjawab, karung yang satu berisi gandum dan yang lainnya berisi pasir, tidak ada makanan. Mengapa kamu mengangkut sekarung pasir, tanya filsuf. Agar untaku terjaga keseimbangannnya, jawab si Badui. Filsuf: jika kamu menggunakan akalmu, kamu bisa saja meletakkan setengah gandum ini pada karung ini dan setengah sisanya pada karung yang lain. Dengan demikian, kedua karung ini menjadi lebih ringan. Sehingga untamu tidak kelelahan, terang si filsuf. Si Badui setuju dengan saran bijak sang filsuf. Dia pun bertanya, hai orang cerdas, mengapa orang pintar sepertimu berjalan kaki di tengah gurun seperti ini? Tidakkah kamu merasa lelah? Makanya, jangan teori melulu!!!...... Demikian cuplikan hikmah dari buku Prof Nevzat Tarhan yang berjudul: Terapi Mesnawi.

1 komentar:

ahmad mengatakan...

"Makanya, jangan teori melulu!!!...."

Terus kapan bijak teori digunakan pak?