Gallery

Jumat, 03 Maret 2017

Menggugat Pendidikan (Islam) Indonesia

Pendahuluan Kita sedang prihatin dengan kegagalan pendidikan Indonesia sekarang ini. Bahwa ada yang salah dalam proses pembelajaran dan pendidikan kita. Halmana, peserta didik belum sepenuhnya dapat diandalkan untuk bisa berpikir kreatif, berinovasi dan berdaya saing. Lebih-lebih lagi dengan kenyataan mudahnya tawuran antar pelajar. Negara kita sedang "Darurat Narkoba". Mencuatnya sikap intoleransi di antara pelajar. Sarjana lulusan perguruan tinggi ternyata tidak siap kerja. Ini terjadi karena terjadinya gap antara Pendidikan tinggi dengan dunia industri dan dunia kerja. Terdapat 6,2 juta lulusan Pendidikan tinggi yang tidak siap kerja. Mereka lebih banyak menjadi pengacara alias "pengangguran banyak acara". Fenomena apa ini? Apa yang salah dengan pendidikan kita. Apakah karena guru- gurunya sudah jarang mendoakan murid- muridnya. Para guru sudah sangat asyik dengan sertifikasi guru? Atau para peserta didik yang memang sedari keluarganya sudah banyak masalah? Minim literasi. Atau masyarakat kita tengah "galau" dengan perubahan dan globalisasi. Kita tengah mengalami The Future Shock--meminjam istilah Alvin Toffler. Kita juga sedang mengalami disruption, gangguang sana- sini. Menggugat Pendidikan Menarik mengutip pandangan Ken Robinson bahwa tragedi terbesar pedidikan dewasa ini adalah pendidikan yang tidak membebaskan. Pendidikan yang tidak melahirkan manusia merdeka. Tidak mendidik manusia menjadi mandiri dan independent. Bahkan pendidikan ditengarai tak ubahnya sebagai alat dan sekrup kapitalisme. Pendidikan dikesankan sebagai alat untuk mencari makan, mengejar kekuasaan, dan untuk menggapai ketenaran. Peserta didik disodori soal-soal multiple choice. Mereka diarahkan untuk mencapai target nilai dan indeks prestasi akademik tinggi. Pendidikan gagal untuk mengantar peserta didik untuk menemukan jati dirinya. Pendidikan sejatinya membebaskan seperti gagasan Paulo Freire. Pendidikan semestinya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.Pendidikan harus mampu mentransformasi anak didik menjadi manusia dewasa yang berpengetahuan, berkepribadian, kreatif dan berakhlaqul karimah. Sebagai ikhtiar untuk mencetak peserta didik yang kreatif dan berinovasi, barangkali tepat untuk mengimplementasikan professional learning. Profesional learning yang dimaksud, pokok- pokok pikirannya sebagai berikut: 1. Anak- anak Indonesia banyak ilmu tetapi kurang praktek, action dan karakter. Oleh karenanya sejatinya pendidikan kita mengajarkan inovasi, kratifitas, critical thinking, action dan character. Karakter ini sebagai softskill sangat penting dan menuntun seseorang mencapai puncak kesuksesan. Dalam bahasa Agama, karakter adalah akhlak. Akhlak sangat utama bagi sebuah generasi bangsa. Innama al umamu akhlaqu ma baqiyat wa in humu zahabat akhlaquhum zahabu. Sebuah bangsa bisa survive jika akhlaknya masih tegak. Ketika akhlak sudah hancur, tamatlah bangsa itu. Demikian petuah Arab yang ditulis oleh Ibnu Ruslan. 2. Bangsa Indonesia dalam hal kehidupan islami ternyata berada pada posisi nomor urut 146 di dunia. Ini menurut riset Hassan Askary. New Zealand menduduki peringkat pertama. Menurut pengalaman Haidar Baqir yang mondar-mandir di negara Selandia Baru ini, kalau kita kebetulan mau menyeberang jalan, lalu tolah-toleh, maka orang -orang di sekitar kita akan dengan ramah bertanya, "Bapak mau ke mana?" Ia menawarkan diri sebagai tempat bertanya. Tentu pemadangan Haidar seperti ini sangat kontras dengan warga Jakarta dan kota metropolis lainyya yang serba sibuk dan sudah sulit bertanya. Kalau pun kita bertanya, biasanya mereka memberikan jawaban sekenanya. 3. Pendidikan kita harus mencreate multi kecerdasan, yakni logika, matematika, dan bahasa. Siswa yang cerdas bukan hanya yang jago matematika dan sains, tetapi juga bagi mereka yang ahli bidang bahasa atau olah raga. Multiple intelligence penting untuk diperhatikan setiap guru. Sebab, faktanya ada anak didik yang terlanjur diclaim anak bodoh hanya karena pelajaran matematikanya tidak memenuhi standar. Padahal yang bersangkutan memiliki keahlian estetik atau kinstetik lainnya. Sehingga pada praktiknya, ada saja guru yang telah membunuh kreatifitas anak. Tanoa sadar guru itu telah membunuh masa depan anak tersebut. 4. Siswa harus dilatih positive discipline. Yaitu siswa dapat berpartisipasi dalam menentukan pilihan. Sebab, anak-anak kalau dipaksa akan cepat bosan. 5.Anak-anak diuji persis seperti apa yang akan dialami dalam kehidupan nyata. Jangan sampai ada soal ujian yang jauh panggang dari api. Soal ujian yang tidak menggambarkan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Jangan mencontoh plot cerita sinetron kita yang cenderung tidak rasional dan realisitis. Tidak merepresentasikan kehidupan nyata yang sesungguhnya. Revolusi Informasi Revolusi Informasi berdampak luar biasa terhadap reformasi pembelajaran. Dari pembelajaran yang terpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berbasis IT. Sehingga seorang guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Dan kalau mereka kurang tanggap, peserta didiknya dapat meninggalkannya. Sebab peserta didik membutuhkan perubahan, bukan hanya seorang guru. Pembelajaran juga harus berbasis riset. Seorang guru terutama dosen harus mengajarkan sesuatu berdasarkan hasil riset yang dilakukannya. Guru tidak boleh hanya mengandalkan pengetahuan 'common sense' kepada siswa-siswinya. Dunia sekarang sudah terkonek dengan dunia lain. The World is flat, kata Thomas Friedman. Kita tidak hidup sendirian. Penguasaan dan pemanfataan teknologi dalam proses pembelajaran adalah suatu kemestian. Informasi menyebar demikian cepatnya. Sekarang sudah era paper less culture. Budaya nir kertas. Penggunaan kertas sudah berkurang atau tidak sama sekali. Face booker society. Masyarakat pengguna face book. Semua informasi biasanya sudah ramai dibicarakan di face book. Demikian pula twitter. Seseorang lebih senang "berkicau" lewat twitter, bahkan seorang presiden sekalipun. Apa yang akan disampaikan oleh seorang guru di kelas, mungkin sudah diketahui oleh para siswanya. Berkat revolusi IT, informasi sangat cepat beredar. Kejadian di suatu daerah terpencil, dalam waktu yang sangat singkat dapat diketahui di belahan dunia lainnya. Itulah dampak Globalisasi. Hampir tidak ada infromasi yang dapat ditutup-tutupi sekarang. Dulu, guru, Kyai sangat dihormati karena merekalah satu-satunya sumber informasi. Sekarang, zaman sudah berubah. Google dan media sosial lainnya sudah menyiapkan lebih dari 70% infromasi yang dibutuhkan manusia. Setiap delapan jam terbit artikel dan buku baru. Dalam hitungan detik, informasi apa pun yang kita butuhkan, dapat dijelaskan oleh Google. Dengan demikian, para pendidik, guru, Kyai, dosen harus mengerti perubahan ini. Materi, metode pembelajaran harus diubah. Kita seharusnya menekankan pada pentingnya critical analysis. Bagaimana menganalisis "tumpukan" atau bahkan "sampah" informasi itu. Hoax sudah bertebaran dan menu sehari- hari bagi pengguna internet. Berhati- hati dan waspadalah! Demikian pula dengan orang tua. Perlu perubahan pola komunikasi dalam mendidik putra-puteri kita. Hampir semua anak usia muda sudah memegang hand phone. Itu berarti, aspek finansial dalam keluarga harus diperhatikan. Seorang orang tua tidak bisa lagi mengandalkan konsep "birr al-walidain", berbakti kepada kedua orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar mereka dihormati. Zaman betul-betul sudah berubah. Seorang anak remaja sudah demikian "gaul". Mereka sudah sangat terkonek dengan seusianya dari selruh belahan dunia. Anak-anak juga semakin cepat dewasa. Bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan di tengah revolusi teknologi informasi yang demikian ini? Jangan-jangan suatu waktu, anak-anak kita hanya menghormati orang tuanya karena kebetulan merekalah yang melahirkannya. Anak-anak hormat kepada orang tua karena "numpang" lewat lahir ke dunia fana ini. Gawat! Abu A'la al- Ma'arry pernah berkata: iza atatka madzammaty min naqish-in. Fa hiya al- syahadat-u ly bi anny kamil-un. Jika sampai berita kekurangan diriku kepadamu. Itu pertanda kesempurnaan akan diriku.

1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Pendidikan agama Islam di Indonesia masih sangat tradisional, sehingga metodenya pun masih sangat tradisional. Perlu ada kiat-kiat untuk membuat pendidikan agama Islam lebih maju dan modern