Positioning Perguruan Tinggi Keagamaan di Era Digital
Muhammad
Zain[1]
“Great vision without great people is irrelevant”.
Jim Collins,
penulis buku Good to Great.
When planning for a year, plant corn. When planning
for a decade, plant trees.
When planning for life, train and educate people.
(Chinene
provers)
Fenomena yang menarik sekarang
ini adalah kemunculan Corporate
University, seperti Toyota University, McDonald University, Motorola
University, GE Campus at Crottonville, Cisco, AT&T, dan Exxon Mobil. Ada
sekitar 25 universitas di Amerika Serikat yang didirikan oleh perusahaan besar.
Di Indonesia juga ada Ciputra
University, Unversitas Bakri Group, Universitas Sahid, Jakarta, Telkom,
Pertamina dan PLN Corporate University, dll. Semuanya telah menerapkan
metodologi corporate university.
Selanjutnya, kita
dikejutkan lagi oleh Virtual University.
VU tidak membutuhkan ruang kelas,
gedung yang mewah, tetapi kaya akan content
pembelajaran. Contoh menarik adalah fenomena Khan Academy ( a free online education platform and non
profit organization). Khan Academy didirikan oleh Salman Khan. Salman
Khan lahir pada tanggal 11 oktober 1976. Ia adalah seorang Amerika yang
berkebangsaan Bangladesh. Ia seorang pendidik dan entrepreneur. Dimulai dari
rumah kecilnya, Khan memproduksi lebih dari 4.000 video pembelajaran mengenai
matematika dan sains. Pada mei 2013, Khan
Academy lewat channel youtube
sudah satu juta video yang ditonton oleh lebih dari 268 juta kesempatan. Oleh
majalah Forbes, Salman Khan diposisikan sebagai “ S 1 Trillion Opportunity”. Salman lulusan ilmu komputer dari MIT
(Massachussets Institute of Technology), dan MBA dari Harvard Business School. Dalam buku terbarunya: The One World Schoolhouse, 2013, ia berpendapat bahwa pembelajaran
lewat ruang kelas sesungguhnya sudah ketinggalan zaman. Sistem perkuliahan
dalam kelas hanyalah untuk proses pembelajaran 100 tahun yang lalu.
Bahwa revolusi informasi
berdampak luar biasa terhadap reformasi pembelajaran. Dari pembelajaran yang
terpusat pada teacher menjadi
pembelajaran yang berbasis IT. Seorang guru dan dosen hanya sebagai fasilitator.
Dan kalau mereka kurang tanggap, mahasiswanya dapat meninggalkannya. Mereka
membutuhkan perubahan, bukan seorang guru. Pembelajaran juga harus berbasis
riset. Seorang guru terutama dosen harus mengajarkan sesuatu berdasarkan hasil
riset yang telah dan sedang dikerjakannya. Dosen tidak boleh hanya mengandalkan
pengetahuan 'common sense' dan
selanjutnya disampaikan kepada mahasiswanya.
Dunia sekarang sudah
terkonek dengan dunia lain. World is flat,
kata Thomas Friedman. Kita tidak hidup sendirian. Mahasiswa harus dari awal
dibekali dengan sejumlah kompetensi dan kesadaran akan global citizenship. Mereka adalah bagian warga dunia. Bahwa kita
hidup dan sadar akan komunitas dunia. Bahasa Inggeris merupakan keniscayaan
untuk memasuki persaingan global. Penguasaan dan pemanfataan teknologi dalam
proses pembelajaran adalah suatu kemestian. Informasi menyebar demikian
cepatnya. Di dunia medis demikian pula halnya. Bahkan diprediksi suatu saat, robot
akan menggantikan posisi dokter yang sesungguhnya.
Masyarakat juga sudah dan
sedang berubah. Facebooker society.
Masyarakat pengguna facebook. Semua
informasi biasanya sudah ramai dibicarakan di facebook. Demikian pula twitter.
Seseorang lebih senang "berkicau" di Twitter. Bahkan ujian mahasiswa
sudah bisa lewat internet. Kurikulum berubah dalam dua tahun. E-lab dan e-library sudah hal yang sangat biasa. Sekarang mahasiswanya pun
sudah "new students".
Mahasiswa di era baru, era digital. Tidak seperti mahasiswa dulu. Datang,
duduk, dan siap menerima materi pelajaran atau kuliah dari seorang dosen.
Sekarang, dosen tak lebih sebagai "fasilitator". Sebab, informasi
sudah tersebar demikian masifnya. Apa yang akan disampaikan oleh seorang dosen
di kelas, mungkin sudah diketahui oleh para mahasiswanya. Pendidikan di masa
depan, sangat boleh jadi dalam hal pendanaan tidak lagi sepenuhnya bergantung
pada kucuran dana pemerintah. Ada banyak donatur yang siap menginvestasikan
dana untuk kepentingan pendidikan dan dunia usaha.
Lalu, pertanyaannya
kemudian, apakah pendidikan tinggi sudah siap dengan situasi ini? Perkembangan
ilmu pengetahuan dan penyebarannya juga sudah demikian cepat dan massif.
tercatat sudah 1,5 juta artikel mengenai sain dan teknologi. Dalam
pembelajaran, kita membutuhkan new
pedagogical approaches. What are our students expectations? Have less
"respect" for the teacher, more willing to challenge.
Berkat revolusi IT,
informasi sangat cepat beredar. Kejadian di suatu daerah terpencil, dalam waktu
yang sangat singkat dapat diketahui di belahan dunia lainnya. Hampir tidak ada
infromasi yang dapat ditutup-tutupi sekarang. Dulu, guru, Kyai sangat dihormati
karena merekalah satu-satunya sumber informasi. Sekarang, zaman sudah berubah.
Google dan media sosial lainnya sudah menyiapkan lebih dari 70% infromasi yang
dibutuhkan manusia.
Fenomena kyai google
juga menarik. Ustaz-ustaz tertentu membuat rubrik tanya-jawab atau blog, dan
secara intensif membuat fatwa-fatwa keagamaan. Kyai google ini sesungguhnya
tidak selamanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mumpuni. Tetapi memiliki
pengikut yang cukup banyak. Dan mereka hadir menyapa dan memberi
pandangan-pandangan keagamaan kepada jamaahnya lewat internet.
Dalam hitungan detik,
informasi apa pun yang kita butuhkan, dapat dijelaskan oleh Google. Dengan
demikian, para pendidik, guru, Kyai, dosen harus mengerti perubahan ini.
Materi, metode pembelajaran harus diubah. Kita seharusnya menekankan pada pentingnya
critical analysis. Bagaimana
menganalisis "tumpukan" atau bahkan "sampah" informasi itu.
Demikian pula dengan orang tua. Perlu perubahan pola komunikasi dalam mendidik
putra-puteri kita. Hampir semua anak usia muda sudah memegang hand phone. Itu berarti, aspek finansial
dalam keluarga harus diperhatikan. Seorang orang tua tidak bisa lagi
mengandalkan konsep "birr al-walidain",
berbakti kepada kedua orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar mereka
dihormati. Zaman sudah berubah. Seorang anak remaja sudah demikian
"gaul". Mereka sudah sangat terkonek dengan seusianya dari selruh
belahan dunia. Anak-anak juga semakin cepat dewasa. Bagaimana menanamkan
nilai-nilai kebaikan di tengah revolusi teknologi informasi yang demikian ini?
jangan-jangan suatu waktu, anak-anak kita hanya menghormati orang tuanya karena
kebetulan merekalah yang melahirkannya. Anak-anak hormat kepada orang tua
karena "numpang" lewat lahir ke dunia fana ini. Demikian pula dalam
hal kepemimpinan. Seorang top manajer yang kurang menguasai informasi mengenai
bidangnya pasti kehilangan kontrol dan kekuasaan.The end of leardership, kata Barbara. Kita harus berpikir keras
untuk "memenangkan" pertarungan di era digital ini. akankah kehidupan
ini akan lebih baik dengan semua ini? Atau sebaliknya. Kita harus optimis. Ini
adalah sunnatullah. Daripada menentang arus lebih baik mengalir bersamanya.
What the Next?
Terdapat beberapa hal
yang menjadi konsern kita, sebagai berikut:
1. Penguatan Leadership
PTKI
Pimpinan
PTAI harus visioner, karena mereka memimpin PT pada kondisi “turbulent times” meminjam istilah Peter
Drucker. Dengan latar belakang budaya
kepemimpinan Indonesia yang sedang memasuki masa transisi dari paternalistik ke
demokrasi, masih dibutuhkan pemimpin yang kuat dan visioner. Ke depan
kepemimpinan rektor dibatasi dan dipisah antara kepemimpinan akademik dan
non-akademik. Rektor semestinya mengurusi pembinaan akademik, peningkatan
kompetensi dan karier dosen, pengembangan kelembagaan, penelitian dan ilmu
pengetahuan. Hal-hal yang terkait dengan keuangan dan administrasi cukup
didelegasikan dan diberi kewenangan penuh kepada pejabat yang kompeten dan
sejak semula diangkat dari tenaga administrasi. Sehingga, seorang rektor setiap
akhir tahun tidak lagi berhadapan dengan auditor BPK, BPKP dan Inspektorat
Jenderal.
2.
Penyiapan
Sumber Daya Manusia yang tangguh
Dosen
sebaiknya dibagi menjadi dosen pendidik/pengajar dan peneliti. Dosen pendidik
yang cirinya lebih enjoy dengan
mengajar dan mentransfer ilmunya lewat proses pembelajan di kelas, dan menjadi nara
sumber pada seminar-seminar ilmiyah sebaiknya diberi ruang gerak lebih leluasa.
Demikian pula halnya dengan dosen-peneliti. Tridharma perguruan tinggi,
sebaiknya dibalik menjadi: (a) penelitian; (b) pendidikan dan pengajaran, dan
(c) pengabdian pada masyarakat. Sehingga, setiap dosen sedari awal sudah
menyadari tugas riset yang diembannya. Dampaknya, setiap dosen yang berdiri di
kelas akan menyampaikan hasil dan temuan riset yang digelutinya.
3.
Perluasan
Akses.
Seperti
yang jamak diketahui bahwa globalisasi hanya menguntungkan bagi pekerja
terlatih dan terdidik. Sehingga bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan mengecap
pendidikan akan tergusur dan cenderung memiliki pendapatan menurun. Oleh karena
itu, pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakatnya
untuk sekolah dan mendapatkan pelatihan kerja yang cukup. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Februari 2012, Indonesia memiliki angkatan kerja 120,4
juta orang. Sebanyak 42,1 juta orang bekerja di sektor formal, 70,7 juta orang
bekerja di sector informal, dan pengangguran terbuka 6,3 persen. Saat ini,
sebanyak 54,2 juta orang dari 109, 7 juta angkatan kerja masih lulusan SD atau
tidak lulus SD. Dan diperkirakan sampai tahun 2025 nanti ada sekitar 48 juta
pekerja berpendidikan SD. Proses demokrasi yang berjalan sangat cepat juga
turut berperan memperlebar kesenjangan. Sebab hanya pemilik modal yang dapat
memanfaatkan peluang berdemokrasi dan menduduki posisi penting dalam institusi
demokrasi. Singkatnya, angkatan kerja harus terdidik. Dan ini salah satu tugas
utama pemerintah untuk mendidik dan memberi peluang seluas-luasnya kepada
angkatan kerja.
Yang
menarik temuan Prof Anne Booth, guru besar School of Oriental and African
Studies, 13 Juni 2014 bahwa Indonesia belum memiliki data akurat tentang tingkat kemiskinan. Data BPS menyebutkan
bahwa kemiskinan berkurang dari 11,6% pada tahun 2012 turun menjadi 11,3% pada
tahun 2013. Sedang Bank Dunia menyebut angka 13,3% masyarakat Indonesia yang
hidup di bawah garis kemiskinan ( Anne Booth, Poverty and inequality in Indonesia, from Soeharto to SBY). Masih
data BPS menyebutkan bahwa terdapat 18,1 % rakyat Indonesia yang berpenghasilan
1,25 dollar per hari, jadi kurang 14.750 rupiah dengan asumsi 11.800 rupiah per
dollar AS. Penyebab utama kemiskinan
adalah mutu pendidikan yang rendah. Pendidikan yang buruk menjadikan seseorang
tidak memiliki kemampuan bekerja secara profesional. Sehingga mereka hanya bisa
menjadi buruh kasar dengan upah rendah.
4.
Re-desain
Kurikulum.
Prof
Boediono (wakil Presiden) secara mengejutkan menulis artikel di harian Kompas
dengan judul: "Pendidikan Kunci Pembangunan" ( Kompas, 27 Agustus
2012). Tanggal 12 Oktober 2012, Harian Kompas laporan khusus mengenai
pendidikan formal di bawah judul: Mengubah Kurikulum: Substansi atau Proses?
oleh ST Sularto. Intinya mengulas kembali pointers pemikiran pak Boediono yang
menganggap bahwa pendidikan di Indonesia tidak memiliki konsepsi yang jelas.
Sehingga mata kuliah yang diajarkan kepada peserta didik over load. Seorang pendidik memasukkan apa saja meskipun tidak
dibutuhkan oleh peserta didik. Sesungguhnya kegelisahan yang sama juga sudah
pernah ditulis oleh Budi Darma ( sastrawan, mantan rektor IKIP Surabaya). Budi
Darma mengkritik dengan sangat tajam bahwa anak-siswa Sekolah Dasar rata-rata
membawa beban buku pelajaran sekitar 14 kg setiap harinya. Tentu beban seberat
itu sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh sang murid. Boediono menegaskan bahwa
seharusnya kurikulum itu mengarahkan peserta didik untuk menjadi warga negara
yang baik dan pekerja terampil serta profesional. Kemudian, Prof Boediono
mengutip pandangan Prof Derek Bok ( presiden Emiritus Harvard University) bahwa
setidaknya ada delapan komponen kurikulum, antara lain: 1. Mengajarkan cara
berkomunikasi yang efektifkepada peserta didik; 2. Mengajarkan berpikir kritis
agar mereka dapat menuliskan dan menyampaikan pikiran-pikiran kritis mereka
secara benar; 3. Mereka juga disadarkan sebagai warga dunia yang akan terlibat
dalam pergaulan dunia internasional; 4. Mereka juga diajarkan prinsip-prinsip
berdemokrasi. Bahwa berbeda itu biasa. Dalam kaitan ini, pluralitas adalah
sesuatu keniscayaan. 5. Mereka juga harus diajarkan seni dalam menjalani
kehidupan. Sehingga mereka memiliki minat belajar seni, filsafat, olah raga,
dll. 6. Hard skill yang terkait dengan bidang pekerjaannya kelak. Dari sekian
banyak komponen yang ditawarkan Prof Derek Bok, hanya satu yang terkait dengan
keterampilan untuk menjadi bekal di dunia kerja. Semua yang lainnya terkait
dengan soft skill. Betapa pentingnya
perbaikan dan re-desain kurikulum itu.
Terlebih
lagi perbaikan kurikulum PTKI dengan mencermati perkembangan Islam Indonesia
dewasa ini, yang ditandai dengan munculnya conservative
turn. Yakni pembalikan wajah Islam damai dan santun menjadi Islam radikal, sangar
dan menakutkan. Dalam buku the Ten
Parallel dilaporkan, seorang wartawan asing sedang meliput kericuhan Front
Pembela Islam (FPI) dengan kelompok Islam Liberal dan pemikir bebas
agama-agama. Sambil memukul tongkat dan alat pentungan kepada kelompok Islam
liberal, mereka mengucapkan Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar. Wartawan
tersebut bertanya, Allah Akbar, artinya apa? Allah Maha Besar, jawab orang di
sampingnya. Si wartawan mengira, Allah Akbar maknanya: Pukul, pukul, pukul!!!.
Menyaksikan hal-hal seperti ini dan sejumlah kekerasan lain yang
mengatasnamankan Tuhan dan agama, maka perlu mengevaluasi secara menyeluruh
kurikulum pendidikan agama Islam yang diajarkan di PTKI dan PTU. Sudah barang
tentu yang salah dalam proses pembelajaran PAI tersebut. Atau PAI harus diberi
muatan multicultural sehingga peserta didik dapat mengerti arti perbedaan antar
agama, bukan truth claim. PTKI harus
tampil pada garda terdepan untuk mengeliminir dan memutus mata rantai aliran
garis keras.
Walhasil,
PTKI harus berbenah untuk memenangkan pertarungan global. PTKI harus melakukan
lompatan jauh ke depan untuk menjadi perguruan tinggi yang maju.
(Tulisan sedang diajukan untuk melengkapi artikel Peringatan Milad ke-50 UIN/IAIN Alauddin Makassar).
Wa Allah a’lam
[1]
Alumni dan dosen Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar sampai tahun 2004.
Sekarang sebagai Kepala Subdit Pengembangan Akademik, DIKTIS, Ditjen Pendidikan
Islam, Kemenag RI. Juga masih tercatat sebagai dosen Ilmu Hadis pada Fakultas
Ushuluddin UIN Syarifhidayatullah Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar