Minggu, 06 November 2016
Refleksi AICIS ke-16, Lampung
Tidak terasa AICIS sudah memasuki tahun ke- 16. Perhelatan akademik ini
terus diminati dan telah menjadi magnet bagi komunitas akademik dan pemerhati
kajian Islam. Tema AICIS ke- 16 ini adalah "Kontribusi Islam Indonesia bagi Peradaban Dunia”( The Contribution of Indonesian Islam to the World Civilization).
Ada apa dengan Islam Indonesia?
Dr Carool Kersten dalam bukunya: Islam in Indonesia, the Contest for Society,
Ideas and Values (2015) menegaskan bahwa Pengalaman Indonesia dalam
berdemokrasi dapat menjadi "alternatif ketiga" (third way) dan menjadi pilihan yang
tepat di tengah ambigu negara- negara mayoritas muslim dalam menentukan sikap
antara memilih negara sekuler dan atau negara Islam.
• Posisi strategis Indonesia dari segi geografis, demografis dan ekonomi menjadi
daya tarik tersendiri. Indonesia berada di tengah poros perdagangan Asia- Pasifik.
Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ke- empat dunia. Indonesia memiliki
penduduk muslim terbesar nomor wahid dunia.
Pasca Arab Spring, dunia semakin tertarik melirik Islam Indonesia. Fenomena
ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) dan Boko Haram semakin memperteguh
pentingnya dunia Islam terutama Timur Tengah untuk datang belajar ke Indonesia.
Gerakan dan aksi ISIS telah memporak- poranda legacy, warisan, dan khazanah
peradaban dunia. ISIS dan Boko Haram juga membakar buku dan manuskrip-
manuskrip yang tak ternilai harganya. Membakar manuskrip berarti telah
memotong generasi. Mereka telah menghilangkan nyawa orang- orang yang tak
berdosa. Dan yang paling menyedihkan, mereka juga telah dan sedang
menghancurkan peradaban manusia.
Hal ini juga semakin memperkuat bahwa Islam Indonesia saat ini, tidak lagi
dipandang sebagai Islam peripheral. Islam pinggiran yang tidak menentukan.
Tetapi Islam Indonesia adalah Islam mainstreaming. Islam Indonesia sejatinya
menjadi referensi dunia dalam demokrasi dan moderasi Islam, Islam wasathiyah.
Islam Indonesia adalah genuine dan otentik. Tokoh-tokoh pemikir muslim
kontemporer Indonesia, seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Amin
Rais, Buya Ahmad Syafi'i Ma'arif memiliki corak pemikiran yang khas dan otentik.
Artikulasi dan pergumulan pemikiran antara sekularisme, liberalisme, pluralisme
dan Islam dapat diselesaikan dengan baik. Pemikiran beliau- beliau ini semuanya
bermuara dan berujung pada "Islam Moderat", Islam wasathiyah.
Meskipun tidak dapat dibantah bahwa 15 tahun terakhir, di Indonesia juga
terdapat fenomena Conservative Turn, pembalikan wajah Islam yang ramah,
damai dan santun ke arah konservatif dan radikal. Menurut penelitian Prof Martin
van Bruinessen, dkk, bahwa Conservative Turn tersebut juga sudah masuk pada
lembaga- lembaga formal di Indonesia, seperti Ormas-ormas dan lembaga
pendidikan. Halmana, ormas-ormas Islam selama ini tampil sebagai penyangga
civil society. Ini adalah warning dan tantangan bagi komunitas akademik dan
pemerhati kajian Islam Indonesia. Ini adalah tantangan buat kita semua. Bahwa
Islam wasathiyah harus menjadi common platform kita dalam kehidupan
beragama, berbangsa dan bernegara. Kita harus terus berdiskusi dan membuka
"ruang dialog" untuk saling memperkaya dan mencari titik temu. AICIS adalah
salah satu ruang dialog dimaksud. AICIS adalah "rumah bersama" bagi komunitas
pengkaji Islam untuk mendiseminasi hasil- hasil risetnya untuk meneguhkan Islam
wasathiyah tadi.
Barangkali menarik untuk kita diskusikan lebih jauh temuan Michael Laffan,
dalam bukunya: The Making of Indonesian Islam, bahwa Islam Indonesia yang
sering digambarkan sebagai Islam moderat, sesungguhnya terjadi karena jasa
para ulama sufi yang memainkan peran aktif dalam membentuk tradisi- tradisi
Islam Indonesia. Kalaupun ada praktek intoleransi dalam penyebaran Islam, hal itu
adalah pengaruh dari penaklukkan tentara Arab. Peran ulama- sufi seperti
Nuruddin ar Raniny, Abdul Rauf Singkel, Abd Shamad al- Palimbani, Syeikh
Muhammad Arsyad al- Banjari, Syeikh Yusuf al- Makassari, Syeikh Nanawi al-
Bantani, penyair Hamzah Fansuri, pujangga Ronggowarsito sangatlah besar
pengaruhnya dalam membentuk watak dan karakter Islam Indonesia.
Karakter Islam Indonesia lebih mengedepankan akhlak dan etika dalam pergaulan.
Islam Indonesia lebih akomodatif terhadap budaya dan kearifan lokal.
Tegasnya, nilai-nilai universal Islam datang untuk “memahkotai” budaya
lokal.Masyarakat Lampung, umpamanya memiliki Piil Pesinggiri dan Muakhi. Piil
Pesinggiri adalah semangat kebersamaan, saling menghormati, tidak ingin di atas
kalau ada yang di bawah, bersikap terbuka dan sangat menghormati tamu. Muakhi
adalah “napas” keadaban masyarakat Lampung untuk memupuk persaudaraan
dan tali silaturahmi secara terbuka. Budaya dan kearifan local harus terus dirawat
untuk memperkokoh tegaknya pilar Islam rahmatan li al-‘alamin.
Semoga AICIS kali ini lebih sukses dan lebih berperan serta melahirkan
pemikiran- pemikiran otentik untuk kemajuan peradaban Islam Indonesia dan
dunia. Islam Indonesia yang moderat, damai dan santun harus terus dirawat dan
diperkuat agar dunia semakin damai, aman dan toleran. Saya tidak bisa
membayangkan, bagaimana tatanan dunia Islam tanpa Islam Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar