Jumat, 03 Maret 2017
Tantangan dan Peluang Pendidikan Tinggi di Indonesia
Awal Kata
Posisi Agama di Era Akselerasi
Era revolusi IT adalah era akselerasi. Semua serba sibuk. Serba cepat. Yang lambat akan terlindas ileh zaman. Ibarat naik kereta super depat, telat satu menit akan tertinggal, dan berdampak beberapa jam kemudian. Kita harus berlari kencang. Seperti seekor kijang yang hendak diterkam harimau. Pilihannya hanya dua. Berlari kencang. Dan selamat. Atau lambat, dan mati diterkam harimau.
Is God in cyberspace?, Demikian pertanyaan kritis Thomas L. Friedman dalam buku terbarunya: Thank You for Being Late, an optimist's guide to thriving in the age of accelerations, 2016. Terima kasih karena Anda betul- betul telah telat.
Sekarang serba cepat. Semua orang mengalami busy, super sibuk.
Digital population.
Kita dapat mengalami the multiple stresses of an age of accelerations, if we slow dawn, if we dare to be late and use the time to reimagine work, politics, and community.
Selanjutnya, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran kita untuk pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita.
1. Rendahnya Literasi
Indonesia sudah 71 tahun merdeka. Tetapi menurut data masih terdapat sekitar 5,9 juta warganya yang buta huruf. Jawa Timur memiliki angka tertinggi buta aksaranya, sekitar 1.458.184. Meskipun mereka ini melek terhadap aksara arab gundul.
Secara internasional, UNESCO melancarkan gerakan Reading the Past, Writing the Future. Agar warga dunia terbebas dari buta huruf ini. Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia, kata Nelson Mandela. Kita harus melakukan terobosan untuk menghapus buta aksara ini. Dan patut dicatat, buta aksara melanda hampir semua negara- negara berkembang dan masyarakat muslim. Buta aksara atau literasi masih menjadi masalah yang masif melanda dunia muslim. Rata- rata wilayah yang lebih dikenal sebagai "Bulan Sabit" masih mengalami problem rendahnya literasi.
2. Pendidikan Karakter
Dewasa ini kita menyadari betapa pentingnya memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Setidaknya ada tiga lqndasan pendidikan karakter ( character-building education). yakni:
(a)memasukkan nilai-nilai humanisme, seperti saling menghargai dan menghormati antar sesama. Jepang barangkali bisa menjadi contoh dalam pendidikan karakter yang dimulai sejak pendidikan usia dini. Halmana tradisi dan nilai- nilai luhur mereka tidak tergerus oleh modernitas. Integritas, kejujuran, tanggung jawab, menghormati yang lebih senior, sportifitas, nilai malu terintegrasi dalam kurikulum pendidikan mereka.
b) mengembangkan karakter keilmuan, yakni dengan menciptakan curiosity, rasa ingin tahu yang tinggi ( search of inquiry), sehingga ilmu, kreatifitas dan inovasi berkembang; dan
(c) menanamkan kecintaan dan kebanggaan kepada Indonesia.
3. Integrasi Ilmu.
PTKI harus konsern untuk Membangun Tradisi Akademik Baru. Seperti jamak diketahui bahwa sejarah tradisi akademik Islam dimulai oleh penerjemahan karya- karya akademik Yunani Kuna. Karya- karya penerjemahan tersebut meliputi filsafat, kedokteran, dan sains. Lahirlah filosof muslim, dokter, dan saintis seperti al- Kindi (w. 873), al- Farabi (w. 950), Ibnu Sina ( Avicenna, w. 1037), Ibnu al Haytham (w. 1039), al- Biruni (1.000-1050), dan Ibnu Rusyd ( Averroes, w. 1198). Proses penerjemahan karya- karya Yunani kuna ke dalam bahasa Arab dimulai di Baghdad pada akhir abad ke 8 sampai permulaan abad ke 11 M. Patut dicatat bahwa dalam proses penerjemahan ini, filosof Muslim telah berjasa membangkitkan tradisi akademik Yunani Kuna setelah berabad- abad lamanya tenggelam dalam "rawa-rawa" sejarah.
Selanjutnya, perdebatan teologis dan pengayaan pengembangan doktrin- doktrin dalam Islam juga berkait kelindan dengan Helenisme ini. Dalam kaitan ini, tradisi akademik dan filsafat di kalangan Iran perlu diapresiasi. Sebab, tradisi filsafat di Persia ( Iran) tidak pernah berhenti sampai sekarang. Berbeda dengan Arab dan terutama tradisi sunni, pasca Imam al- Ghazali, kajian- kajian filsafat cenderung " meredub".
Para filosof muslim, dokter, dan ilmuannya melakukan "quantum leap" yang melampai tradisi akademik sebelumnya. Mereka membangun " the Bridge" keilmuan yang melahirkan renaisan Islam.
Selanjutnya, temuan- temuan spektakuler saintis muslim dikembangkan di Barat sampai dewasa ini. Prof Salim T.S al Hassani, 1001 Inventions: the Enduring Legacy of Muslim Civilization, 2012 menulis bahwa kemajuan sain dan teknologi di dunia muslim sungguh luar biasa. Bendungan, menara, kamar mandi, kompas, karpet, universitas, kertas, kincir angin, jam dsb adalah temuan temuan keilmuan spektakuler yang dikembangkan bahkan " diakui" Barat. Kamar mandi bukanlah temuan Thomas Crapper. Tetapi dimulai dari Romawi dan Bizantium, lalu dikembangkan di Baghdad. Berikutnya di Turki.
Iran bisa berbangga karena bisa membangun Museum Karpet yang masih menyimpan ratusa model karpet dari zaman ke zaman. Ada juga Bendungan See syeh pool di Isfahan masih merupakan cagar budaya dunia yang mencengangkan. Singkatnya, integrasi ilmu adalah amanah Undang- Undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Integrasi ilmu harus menjadi perhatian bersama, dan telah memiliki legitimasi historis, dan landasan filosofis serta epistemologis yang kuat. Tantangan kita adalah menerjemahkannya dalam sebuah kurikulum yang komprehensif di PTKI.
4. Current Issues Pendidikan Tinggi
Barangkali untuk pengembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia, realitas berikut dapat menjadi bahan pemikiran.
(1). Mobilitas Antar Universitas Di Indonesia, dosen cenderung pensiun di tempat. Mereka rata- rata tidak mengalami pengalaman mengajar di tempat lain. Bahkan tragisnya, terkadang ada dosen yang mengajarkan mata kuliah di luar kompetensinya hanya karena alasan pemenuhan BKD. Ada juga dosen memiliki keahlian dan kepakaran tertentu, tetapi sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh perguruan tinggi lain. Sehingga perlu kebijakan komprehensif untuk melakukan migrasi dosen dalam waktu tertentu agar terjadi distribusi kepakaran secara merata. Dan tidak menumpuk pada perguruan tinggi tertentu.
(2). Tantangan pendidikan di era MEA.
New Think Asean, kata Philip Kotler. Asean sulit diprediksi. Ada banyak pemain baru dalam seluruh sektor, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya. Asean sekarang sudah sangat berbeda dengan 20 tahun yang lalu. MEA adalah peluang pasar bagi Indonesia. Tantangan kita, (a). Masalah bahasa. (b). Mobilitas mahasiswa, dosen dan peneliti. Kedua tantangan ini bisa dilakukan international summer program, lecturer/ researcher exchange program, joint risearch, joint seminar, dst.
(c). Menyehatkan PTN- PTS Ada sepuluh PT terbaik Amerika. Semuanya PTS dan didanai oleh donatur kaya. Universitas Harvard memiliki dana abadi sebanyak Rp. 473,2 triliun. Donatur Dari filantropis kaya semacam Rockefeller, John F Kennedy, dan Melinda Gates banyak investasi untuk pendidikan dan kesehatan. Di Indonesia kita sulit mendapatkan orang kaya seperti itu. PTS kita secara nasional banyak yang sakit- sakitan. Dari 3.078 PTS, baru 111 (3,6%) mengajukan akreditasi institusi. Itupun baru 4,5% yang mampu terakreditasi B, dan selebihnya C. Masih ribuan yang belu mengajukan akreditasi. Mengerikan. Sementara ada 70% mahasiswa Indonesia kuliah di PTS. Ditambah lagi, dengan 1/3 PTS yang masih luhur dan bersikukuh dalam menjalankan misi PT. Selebihnya, PTS dijadikan sebagai pundi- pundi income oleh pendirinya. Ada juga untuk kepentingan bisnis, kepentingan pribadi sebagai sumber dana kampanye, dst. PTS sulit mendapatkan izin prodi yang laris- manis seperti Prodi Ilmu Kedikteran dan semua turunannya. Dosen PTS juga hanya sedikit yang bisa berfungsi sebagai dosen. Padahal untuk melaksanakan tridharma, PT sangat membutuhkan dosen yang bermutu, laboratorium, perpustakaan yang lengkap, proses belajar mengajar yang maju. Sehingga kita bisa melahirkan lulusan yang terampil dan berdaya saing. ( Elfindri, Kompas, 4 maret 2016).
(d).Pengembangan bidang ilmu.
Data Forlap Kemenristek Dikti (2016), jumlah prodi sebanyak 23.747. Sains dan teknik yang mencakup MIPA, teknik, kedokteran, kesehatan, dan pertanian. Selebihnya ilmu- ilmu sosial dan humaniora, seperti ekonomi, politik, hukum, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan agama. Jumlah prodi sains- keteknikan lebih sedikit dibanding ilmu sosial dan humaniora. Sains keteknikan sebanyak 10.135 prodi sekitar 43%. Dan ilmu sosial dan humaniora sebanyak 57% ( 13.611). Dari jumlah mahasiswa sebanyak 5. 228.562, yang menekuni sains keteknikan hanya 1.593.882(30,5 persen). Dan mereka yang menekuni bidang ilmu sosial dan humaniora sebanyak 3. 634.679(69,5 %).Sehingga terjadilah ketimpangan. Terjadilah inflasi sarjana ilmu-ilmu sosial humaniora. Lebih banyak " pengamat" daripada ahli. Defisit sarjana teknik tak terhindarkan. Indonesia kekurangan insinyur. Diperkirakan tahun 2015-2025, kita kekurangan insinyur sekitar 15 ribu pertahun. Pada tahun 2020-2025 kita membutuhkan insinyur sebanyak 90.500 pertahun. Bagaimana dengan PTKI?
Kita harus menjawab tantangan- tantangan pengembangan pendidikan tinggi tersebut. Kita harus terus berinovasi untuk menciptakan peluang- peluang baru. Penguatan akreditasi prodi dan institusi harus menjadi konsern pimpinan perguruan tinggi. Peningkatan kualitas dosen adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Publikasi ilmiyah harus terus digenjot agar kita mendapatkan recognition, pengakuan baik nasional, regional ASEAN maupun internasional. Pemenuhan infrastruktur kampus harus terus dibenahi agar civitas akademik bisa betah mengembangkan ilmu dan proses pembelajaran di kampus. Kampus yang ikonik harus kita bangun yang akan menjadi kebanggaan Kemenag dan bangsa kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar