Senin, 27 Juni 2016
I Am Wind, You Are Fire
Hidup dan karya Jalaluddin Rumi diurai dengan sangat indah dalam karya Annemarie Schimmel yang berjudul I Am Wind, You Are Fire, 1992. Menelusuri jejak langkah Rumi setapak demi setapak sangatlah indah. Hampir semua sepak terjang Rumi diurai dengan sangat jelas dalam buku ini. Hampir semua pandangan dan syair sufi Rumi disyarah dengan sangat apik dalam buku ini. Sebuah karya yang menawan.....schimmel telah menyajikan kisah hidup dan karya- karya Rumi secara mendalam, puitis dan hidup, kata Seyyed Hissein Nasr.
Ada kisah Rumi dalam Matsnawi, loncatnya kacang polong dari periuk. Kacang polong mengeluh karena kepanasan dimasak. Namun, ibu rumah tangga menjelaskan kepada sayur- mayur bahwa mereka harus menjalani ujian ini beberapa saat. Kini mereka harus merasakan api kemurkaan Tuhannya. Setelah itu,mereka tumbuh berbahagia bermandikan matahari kemurahhatian Tuhan. Setelah sayur- mayur itu betul- betul matang dan lembut, barulah manusia menyantapnya. Makanan dimakan dan disaring dalam tubuh manusia dan diubah menjadi sperma dan berkembang menjadi manusia baru, khalqan akhara.
Dalam kitab Ma' arif karya Baha'i Walad dikisahkan,
Bahwa ia melihat air dan roti dalam perutnya. Air ini, roti ini, dan buah- buahan ini memiliki lidah dan seraya memuji Tuhan dengan suara- suara permohonan....otu berarti sesungguhnya dalam Islam tidak ada makhluk mati. Semua memiliki lidah untuk bertasbih kepada Tuhan....setiap makanan memiliki lidah untuk mengingat Tuhan.
Manusia seperti periuk besar. Baunya tergantung jenis makanan yang disantapnya. Pada perjamuan primordial manusia, alastu bi rabbikum...qalu bala....yang pada hari itu, sebelum adanya hari, minuman cinta dibagi- bagikan. Dan setiap manusia meneguk dan memperoleh anggur cinta seduai dengan kapasitas masing- masing. Rumi menengarai gurunya, Syamsuddin banyak meneguk anggur cinta pada perjamuan primordial itu. Kalau manusia memiliki periuk besar yang terbuat dari emas, maka tidak akan terhitamkan oleh asap dan kotoran. Ia akan tetap bernilai tinggi.
Dalam kitab Fihi ma Fihi, Rumi memberi tamsil wortel untuk dunia. Dikisahkan seorang badui yang selama ini bersenang -senang dengan manisnya wortel. Ia sangat puas dengan manisnya wortel. Setelah ia ke Konya, ia mengenal manisnya halwa. Barulah ia menyesal, betapa jauhnya ia dari kenikmatan spiritual selama bertahun- tahun. Samal halnya kisah seorang Badui lagi yang membawa air payau dan mempersembahkannya buat Khalifah Baghdad. Air payau itu dikumpulkan lama dari titik- titik hujan di tengah gurun pasir. Si Badui tidak tahu bahwa sungai Tigris telah tersedia air manis yang melimpah ruah. Seseorang beribadah kepada Tuhan dengan harapan menyenangkan Tuhan. Dan berikutnya, ia akan diberi pahala yang melimpah- ruah. Padahal, Tuhan sendiri tidak butuh untuk disembah.
Rumi juga sering menyebut mabuknya sang pencinta. 'Isyq, 'asyiq, dan ma'syuq. Cinta, pencinta, dan yang dicinta. Amsal anggur yang disering diucapkan Rumi. Anggur itu juga sebagai tamsil jiwa manusia. Anggur semula masam. Lalu dimasak sinar kasih sayang oleh matahari. Sampai anggur itu menjadi manis. Pada saat- saat tertentu anggur diperss, dimasak untuk waktu yang lama samapi mencapai perkmez. Anggur mencapai tahap komposisi kekentalannya seperti madu. Anggur menyerupai perkembangan dan nasib jiwa manusia yang harus menjalani cobaan dan penderitaan. Agar jiwa manusia itu menjadi lebih matang dan manis.
Kondisi 'asyiq- ma'syuq dan keadaan khamriyah, mabuk dilukiskan oleh Rumi dalam Matsnawi. Seorang inspektur polisi memeriksa napas seorang laki-laki yang mabuk, tidak sanggup berdiri tegak. Sang inspektur memerintahkan agar lelaki itu mengucapkan Ah!. Tetapi lelaki itu yang sesungguhnya seorang sufi malah berteriak Hu, Hu!. Sang darwis pada akhir meditasi mistikalnya berterik He, He, He!. Sang inspektur akhirnya marah. Akan tetapi lelaki itu tetap saja keras kepala untuk terus menyebut Hu, Hu! Sebab, Hu, Hu! Adalah ungkapan puncak kegembiraan. Sedang Ah, Ah! Adalah representasi dari dukacita.
Puisi Rumi lagi tentang orang yang naik haji.
Sang haji mencium batu hitam Ka'bah
Karena yang dipikir kannya bibir kekasih.
Puisi ini didendangkannya ketika Rumi menyaksikan sekelompok Badui merampok jemaah haji. Peristiwa itu, disanksikannya ketika beliau dan keluarga sedang melakukan perjalanan dari Khurasan ke Konya. Tetapi mereka singgah dulu menunaikan haji.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar