Gallery

Senin, 13 Maret 2017

Agenda Riset PTKI

Realitas Riset 1. Selama ini dana BOPTN khusus penelitian terkesan dibagi rata. Pemberian dana riset tidak berdasarkan proposal riset yang sesungguhnya. Sehingga, penelitian tidak berujung dan menghasilkan artikel yang diterbitkan pada jurnal terakreditasi nasional atau internasional. 2. Masih minimnya dosen peneliti yang mendaftarkan karya intelektualnya untuk mendapatkan HAKI. Terbukti, hingga sekarang ini baru sekitar 270-an HAKI yang terdaftar di Kemenkumham. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah disen PTKI sekiatr 35 ribu dosen. Ini adalah angka yang sangat memprihatinkan. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa dana penelitian tidak "berbanding lurus" dengan kualitas karya intelektual dosen PTKI. Sehingga perlu menetapkan arah kebijakan baru riset PTKI. Kita harus menemukan cara- cara yang jitu untuk menangani masalah ini. 3. Selama ini terkesan bahwa dosen PTKI masih rendah semangat mereka untuk menerbitkan atau mempublikasikan karya- karya intelektualnya. Perlu kebijakan nasional dan komprehensif untuk ini. Karya- karya dosen kita berakhir dan disimpan di "lorong- lorong sunyi" perpustakaan pribadinya. 4. Perlu menumbuhkan "research culture" di kampus. Ditengarai ada banyak regulasi dan SOP yang tidak pro peneliti. Dosen hanya disibukkan dengan menyusun BKD. Untuk memenuhi seluruh persyaratan BKD dibutuhkan waktu sekitar satu minggu. Karena kalau telat bisa berdampak pada tertahannya dana sertifikasi dosen. Dosen lebih sibuk untuk memenuhi ketentuan BKD-nya daripada menyempurnakan temuan- temuan risetnya. 5. Termasuk regulasi yang tidak pro peneliti adalah rendahnya KUM bagi unsur pengabdian pada masyarakat. Padahal, sekarang ini hampir semua jenis dan kluster pengabdian pada masyarakat sudah berbasis riset. Hasil dan temuan- temuan KKN atau KKS oleh dosen pembimbing pengabdian pada masyarakat masih rendah. Hal ini perlu pembicaraan dan diskusi khusus dengan Kemenpan RB. Agar agenda pengabdian kepada masyarakat betul- betul bisa menjadi agen perubahan nyata pada masyarakat. Dosen dan mahasiswa yang terjun ke masyarakat tidak sekedar menggugurkan kewajiban. Tetapi betul- betul untuk agenda perubahan. Seperti keberpihakan kepada penguatan literacy society dan upaya yang sungguh-sungguh untuk menambah angka middle class society, jumlah kelas menengah Indonesia. Sebab, sebuah bangsa yang kuat karena ditopang oleh jumlah kelas menengah yang signifikan. Demokrasi dan daya saing suatu bangsa sangat tergantung pada jumlah middle class- nya. ( Gerry van Klinken penulis buku The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in Kupang town, 1930s-1980s dan In Search of Middle Indonesia, 2016). Itulah yang terjadi di Singapura, Malaysia, Australia, Amerika, Kanada, dan sebagian negara- negara maju di Eropa. 3. Untuk sementara solusi yang dapat ditempuh antara lain: a. Sekecil apa pun dana bantuan riset harus berbasis proposal. b. Perlu refocusing riset PTKI, baik tema maupun agenda- agenda riset. Termasuk di dalamnya riset kebijakan. c. Perlu pelatihan Research Skills kepada dosen pemula. Hal ini penting untuk memberi rangsangan kepada mereka agar mau meneliti. Selama ini ditengarai masih rendahnya semangat dan kemampuan meneliti dosen muda kita. Ada banyak riset yang terlalu deduktif. Padahal yang kita butuhkan adalah riset yang induktif, faktual. Segala sesuatu harus dimulai dari data yang akurat. Bahkan sesungguhnya pengabdian kepada masyarakat harus terus diarahkan berbasis riset. Dari pengabdian kepada masyarakatlah lahir ide- ide riset. Dari risetlah melahirkan teori- teori. Dari teori- teori itulah yang akan diajarkan kepada para mahasiswa. Jadi, untuk maju, tridharma perguruan tinggi harus dibalik. Pengabdian kepada masyarakat yang berbasis riset. Teori- teori ilmu dari hasil riset yang mendalam dan kalau bisa grounded research, jatuh bangunnya sebuah teori ilmu. Kemudian diajarkan dalam kelas. Pada saat yang bersamaan harus berani publikasi ilmiyah. d. Segera membentuk Dewan Riset Nasional e. Kita belum memiliki Rencana Induk Riset Nasional F. Segera membentuk Komite Reviewer Nasional yang bertugas untuk: - Mengawal riset yang relevan dengan kebijakan nasional - Menaksir anggaran riset yang selama ini terkesan "kirologi". Tidak mengacu pada PMK nomor 106. Juga tidak mengacu pada standar nasional budget riset. Bantuan riset disesuaikan dengan DIPA Diktis. Ini tidak sehat. Harus diperbaiki. g. Perlu penguatan MORAREF sebagai Lembaga Pengindeks jurnal on line nasional Kemenag RI dan beberspa jurnal yang terus diadvokasi agar bisa terakreditasi internasional. h. Perlu membuat Profil Bidang Keahlian Dosen. 4. Tema riset nasional juga terkesan tidak terarah dan sporadis. Tidak didasarkan pada kajian yang mendalam. Bahkan terkesan " kirologi". Tema- tema ditetapkan pada pemikiran yang ringan dan diskusi- diskusi pada forum- forum yang sangat terbatas. Sehingga tidak menghasilkan pemikiran yang mendalam. Tema riset nasional yang ditawarkan: a. Hubungan Agama dan Negara b. Indonesia dalam Kajian Asia Tenggara c. Kebhinnekaan d. Inovasi dalam Ilmu Pengetahuan e. Interkonektivitas. f. Isu Radikalisme g. Relasi Indonesia dan Asia Tenggara h. Migrasi ( perpindahan scholar, TKI, China dan India sudah mulai leading). i. Isu Lingkungan Hidup J. Kedaulatan Pangan.

Jumat, 03 Maret 2017

Menggugat Pendidikan (Islam) Indonesia

Pendahuluan Kita sedang prihatin dengan kegagalan pendidikan Indonesia sekarang ini. Bahwa ada yang salah dalam proses pembelajaran dan pendidikan kita. Halmana, peserta didik belum sepenuhnya dapat diandalkan untuk bisa berpikir kreatif, berinovasi dan berdaya saing. Lebih-lebih lagi dengan kenyataan mudahnya tawuran antar pelajar. Negara kita sedang "Darurat Narkoba". Mencuatnya sikap intoleransi di antara pelajar. Sarjana lulusan perguruan tinggi ternyata tidak siap kerja. Ini terjadi karena terjadinya gap antara Pendidikan tinggi dengan dunia industri dan dunia kerja. Terdapat 6,2 juta lulusan Pendidikan tinggi yang tidak siap kerja. Mereka lebih banyak menjadi pengacara alias "pengangguran banyak acara". Fenomena apa ini? Apa yang salah dengan pendidikan kita. Apakah karena guru- gurunya sudah jarang mendoakan murid- muridnya. Para guru sudah sangat asyik dengan sertifikasi guru? Atau para peserta didik yang memang sedari keluarganya sudah banyak masalah? Minim literasi. Atau masyarakat kita tengah "galau" dengan perubahan dan globalisasi. Kita tengah mengalami The Future Shock--meminjam istilah Alvin Toffler. Kita juga sedang mengalami disruption, gangguang sana- sini. Menggugat Pendidikan Menarik mengutip pandangan Ken Robinson bahwa tragedi terbesar pedidikan dewasa ini adalah pendidikan yang tidak membebaskan. Pendidikan yang tidak melahirkan manusia merdeka. Tidak mendidik manusia menjadi mandiri dan independent. Bahkan pendidikan ditengarai tak ubahnya sebagai alat dan sekrup kapitalisme. Pendidikan dikesankan sebagai alat untuk mencari makan, mengejar kekuasaan, dan untuk menggapai ketenaran. Peserta didik disodori soal-soal multiple choice. Mereka diarahkan untuk mencapai target nilai dan indeks prestasi akademik tinggi. Pendidikan gagal untuk mengantar peserta didik untuk menemukan jati dirinya. Pendidikan sejatinya membebaskan seperti gagasan Paulo Freire. Pendidikan semestinya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.Pendidikan harus mampu mentransformasi anak didik menjadi manusia dewasa yang berpengetahuan, berkepribadian, kreatif dan berakhlaqul karimah. Sebagai ikhtiar untuk mencetak peserta didik yang kreatif dan berinovasi, barangkali tepat untuk mengimplementasikan professional learning. Profesional learning yang dimaksud, pokok- pokok pikirannya sebagai berikut: 1. Anak- anak Indonesia banyak ilmu tetapi kurang praktek, action dan karakter. Oleh karenanya sejatinya pendidikan kita mengajarkan inovasi, kratifitas, critical thinking, action dan character. Karakter ini sebagai softskill sangat penting dan menuntun seseorang mencapai puncak kesuksesan. Dalam bahasa Agama, karakter adalah akhlak. Akhlak sangat utama bagi sebuah generasi bangsa. Innama al umamu akhlaqu ma baqiyat wa in humu zahabat akhlaquhum zahabu. Sebuah bangsa bisa survive jika akhlaknya masih tegak. Ketika akhlak sudah hancur, tamatlah bangsa itu. Demikian petuah Arab yang ditulis oleh Ibnu Ruslan. 2. Bangsa Indonesia dalam hal kehidupan islami ternyata berada pada posisi nomor urut 146 di dunia. Ini menurut riset Hassan Askary. New Zealand menduduki peringkat pertama. Menurut pengalaman Haidar Baqir yang mondar-mandir di negara Selandia Baru ini, kalau kita kebetulan mau menyeberang jalan, lalu tolah-toleh, maka orang -orang di sekitar kita akan dengan ramah bertanya, "Bapak mau ke mana?" Ia menawarkan diri sebagai tempat bertanya. Tentu pemadangan Haidar seperti ini sangat kontras dengan warga Jakarta dan kota metropolis lainyya yang serba sibuk dan sudah sulit bertanya. Kalau pun kita bertanya, biasanya mereka memberikan jawaban sekenanya. 3. Pendidikan kita harus mencreate multi kecerdasan, yakni logika, matematika, dan bahasa. Siswa yang cerdas bukan hanya yang jago matematika dan sains, tetapi juga bagi mereka yang ahli bidang bahasa atau olah raga. Multiple intelligence penting untuk diperhatikan setiap guru. Sebab, faktanya ada anak didik yang terlanjur diclaim anak bodoh hanya karena pelajaran matematikanya tidak memenuhi standar. Padahal yang bersangkutan memiliki keahlian estetik atau kinstetik lainnya. Sehingga pada praktiknya, ada saja guru yang telah membunuh kreatifitas anak. Tanoa sadar guru itu telah membunuh masa depan anak tersebut. 4. Siswa harus dilatih positive discipline. Yaitu siswa dapat berpartisipasi dalam menentukan pilihan. Sebab, anak-anak kalau dipaksa akan cepat bosan. 5.Anak-anak diuji persis seperti apa yang akan dialami dalam kehidupan nyata. Jangan sampai ada soal ujian yang jauh panggang dari api. Soal ujian yang tidak menggambarkan realitas kehidupan yang sesungguhnya. Jangan mencontoh plot cerita sinetron kita yang cenderung tidak rasional dan realisitis. Tidak merepresentasikan kehidupan nyata yang sesungguhnya. Revolusi Informasi Revolusi Informasi berdampak luar biasa terhadap reformasi pembelajaran. Dari pembelajaran yang terpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berbasis IT. Sehingga seorang guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Dan kalau mereka kurang tanggap, peserta didiknya dapat meninggalkannya. Sebab peserta didik membutuhkan perubahan, bukan hanya seorang guru. Pembelajaran juga harus berbasis riset. Seorang guru terutama dosen harus mengajarkan sesuatu berdasarkan hasil riset yang dilakukannya. Guru tidak boleh hanya mengandalkan pengetahuan 'common sense' kepada siswa-siswinya. Dunia sekarang sudah terkonek dengan dunia lain. The World is flat, kata Thomas Friedman. Kita tidak hidup sendirian. Penguasaan dan pemanfataan teknologi dalam proses pembelajaran adalah suatu kemestian. Informasi menyebar demikian cepatnya. Sekarang sudah era paper less culture. Budaya nir kertas. Penggunaan kertas sudah berkurang atau tidak sama sekali. Face booker society. Masyarakat pengguna face book. Semua informasi biasanya sudah ramai dibicarakan di face book. Demikian pula twitter. Seseorang lebih senang "berkicau" lewat twitter, bahkan seorang presiden sekalipun. Apa yang akan disampaikan oleh seorang guru di kelas, mungkin sudah diketahui oleh para siswanya. Berkat revolusi IT, informasi sangat cepat beredar. Kejadian di suatu daerah terpencil, dalam waktu yang sangat singkat dapat diketahui di belahan dunia lainnya. Itulah dampak Globalisasi. Hampir tidak ada infromasi yang dapat ditutup-tutupi sekarang. Dulu, guru, Kyai sangat dihormati karena merekalah satu-satunya sumber informasi. Sekarang, zaman sudah berubah. Google dan media sosial lainnya sudah menyiapkan lebih dari 70% infromasi yang dibutuhkan manusia. Setiap delapan jam terbit artikel dan buku baru. Dalam hitungan detik, informasi apa pun yang kita butuhkan, dapat dijelaskan oleh Google. Dengan demikian, para pendidik, guru, Kyai, dosen harus mengerti perubahan ini. Materi, metode pembelajaran harus diubah. Kita seharusnya menekankan pada pentingnya critical analysis. Bagaimana menganalisis "tumpukan" atau bahkan "sampah" informasi itu. Hoax sudah bertebaran dan menu sehari- hari bagi pengguna internet. Berhati- hati dan waspadalah! Demikian pula dengan orang tua. Perlu perubahan pola komunikasi dalam mendidik putra-puteri kita. Hampir semua anak usia muda sudah memegang hand phone. Itu berarti, aspek finansial dalam keluarga harus diperhatikan. Seorang orang tua tidak bisa lagi mengandalkan konsep "birr al-walidain", berbakti kepada kedua orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar mereka dihormati. Zaman betul-betul sudah berubah. Seorang anak remaja sudah demikian "gaul". Mereka sudah sangat terkonek dengan seusianya dari selruh belahan dunia. Anak-anak juga semakin cepat dewasa. Bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan di tengah revolusi teknologi informasi yang demikian ini? Jangan-jangan suatu waktu, anak-anak kita hanya menghormati orang tuanya karena kebetulan merekalah yang melahirkannya. Anak-anak hormat kepada orang tua karena "numpang" lewat lahir ke dunia fana ini. Gawat! Abu A'la al- Ma'arry pernah berkata: iza atatka madzammaty min naqish-in. Fa hiya al- syahadat-u ly bi anny kamil-un. Jika sampai berita kekurangan diriku kepadamu. Itu pertanda kesempurnaan akan diriku.

Tantangan dan Peluang Pendidikan Tinggi di Indonesia

Awal Kata Posisi Agama di Era Akselerasi Era revolusi IT adalah era akselerasi. Semua serba sibuk. Serba cepat. Yang lambat akan terlindas ileh zaman. Ibarat naik kereta super depat, telat satu menit akan tertinggal, dan berdampak beberapa jam kemudian. Kita harus berlari kencang. Seperti seekor kijang yang hendak diterkam harimau. Pilihannya hanya dua. Berlari kencang. Dan selamat. Atau lambat, dan mati diterkam harimau. Is God in cyberspace?, Demikian pertanyaan kritis Thomas L. Friedman dalam buku terbarunya: Thank You for Being Late, an optimist's guide to thriving in the age of accelerations, 2016. Terima kasih karena Anda betul- betul telah telat. Sekarang serba cepat. Semua orang mengalami busy, super sibuk. Digital population. Kita dapat mengalami the multiple stresses of an age of accelerations, if we slow dawn, if we dare to be late and use the time to reimagine work, politics, and community. Selanjutnya, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran kita untuk pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita. 1. Rendahnya Literasi Indonesia sudah 71 tahun merdeka. Tetapi menurut data masih terdapat sekitar 5,9 juta warganya yang buta huruf. Jawa Timur memiliki angka tertinggi buta aksaranya, sekitar 1.458.184. Meskipun mereka ini melek terhadap aksara arab gundul. Secara internasional, UNESCO melancarkan gerakan Reading the Past, Writing the Future. Agar warga dunia terbebas dari buta huruf ini. Pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia, kata Nelson Mandela. Kita harus melakukan terobosan untuk menghapus buta aksara ini. Dan patut dicatat, buta aksara melanda hampir semua negara- negara berkembang dan masyarakat muslim. Buta aksara atau literasi masih menjadi masalah yang masif melanda dunia muslim. Rata- rata wilayah yang lebih dikenal sebagai "Bulan Sabit" masih mengalami problem rendahnya literasi. 2. Pendidikan Karakter Dewasa ini kita menyadari betapa pentingnya memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Setidaknya ada tiga lqndasan pendidikan karakter ( character-building education). yakni: (a)memasukkan nilai-nilai humanisme, seperti saling menghargai dan menghormati antar sesama. Jepang barangkali bisa menjadi contoh dalam pendidikan karakter yang dimulai sejak pendidikan usia dini. Halmana tradisi dan nilai- nilai luhur mereka tidak tergerus oleh modernitas. Integritas, kejujuran, tanggung jawab, menghormati yang lebih senior, sportifitas, nilai malu terintegrasi dalam kurikulum pendidikan mereka. b) mengembangkan karakter keilmuan, yakni dengan menciptakan curiosity, rasa ingin tahu yang tinggi ( search of inquiry), sehingga ilmu, kreatifitas dan inovasi berkembang; dan (c) menanamkan kecintaan dan kebanggaan kepada Indonesia. 3. Integrasi Ilmu. PTKI harus konsern untuk Membangun Tradisi Akademik Baru. Seperti jamak diketahui bahwa sejarah tradisi akademik Islam dimulai oleh penerjemahan karya- karya akademik Yunani Kuna. Karya- karya penerjemahan tersebut meliputi filsafat, kedokteran, dan sains. Lahirlah filosof muslim, dokter, dan saintis seperti al- Kindi (w. 873), al- Farabi (w. 950), Ibnu Sina ( Avicenna, w. 1037), Ibnu al Haytham (w. 1039), al- Biruni (1.000-1050), dan Ibnu Rusyd ( Averroes, w. 1198). Proses penerjemahan karya- karya Yunani kuna ke dalam bahasa Arab dimulai di Baghdad pada akhir abad ke 8 sampai permulaan abad ke 11 M. Patut dicatat bahwa dalam proses penerjemahan ini, filosof Muslim telah berjasa membangkitkan tradisi akademik Yunani Kuna setelah berabad- abad lamanya tenggelam dalam "rawa-rawa" sejarah. Selanjutnya, perdebatan teologis dan pengayaan pengembangan doktrin- doktrin dalam Islam juga berkait kelindan dengan Helenisme ini. Dalam kaitan ini, tradisi akademik dan filsafat di kalangan Iran perlu diapresiasi. Sebab, tradisi filsafat di Persia ( Iran) tidak pernah berhenti sampai sekarang. Berbeda dengan Arab dan terutama tradisi sunni, pasca Imam al- Ghazali, kajian- kajian filsafat cenderung " meredub". Para filosof muslim, dokter, dan ilmuannya melakukan "quantum leap" yang melampai tradisi akademik sebelumnya. Mereka membangun " the Bridge" keilmuan yang melahirkan renaisan Islam. Selanjutnya, temuan- temuan spektakuler saintis muslim dikembangkan di Barat sampai dewasa ini. Prof Salim T.S al Hassani, 1001 Inventions: the Enduring Legacy of Muslim Civilization, 2012 menulis bahwa kemajuan sain dan teknologi di dunia muslim sungguh luar biasa. Bendungan, menara, kamar mandi, kompas, karpet, universitas, kertas, kincir angin, jam dsb adalah temuan temuan keilmuan spektakuler yang dikembangkan bahkan " diakui" Barat. Kamar mandi bukanlah temuan Thomas Crapper. Tetapi dimulai dari Romawi dan Bizantium, lalu dikembangkan di Baghdad. Berikutnya di Turki. Iran bisa berbangga karena bisa membangun Museum Karpet yang masih menyimpan ratusa model karpet dari zaman ke zaman. Ada juga Bendungan See syeh pool di Isfahan masih merupakan cagar budaya dunia yang mencengangkan. Singkatnya, integrasi ilmu adalah amanah Undang- Undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Integrasi ilmu harus menjadi perhatian bersama, dan telah memiliki legitimasi historis, dan landasan filosofis serta epistemologis yang kuat. Tantangan kita adalah menerjemahkannya dalam sebuah kurikulum yang komprehensif di PTKI. 4. Current Issues Pendidikan Tinggi Barangkali untuk pengembangan Pendidikan Tinggi di Indonesia, realitas berikut dapat menjadi bahan pemikiran. (1). Mobilitas Antar Universitas Di Indonesia, dosen cenderung pensiun di tempat. Mereka rata- rata tidak mengalami pengalaman mengajar di tempat lain. Bahkan tragisnya, terkadang ada dosen yang mengajarkan mata kuliah di luar kompetensinya hanya karena alasan pemenuhan BKD. Ada juga dosen memiliki keahlian dan kepakaran tertentu, tetapi sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh perguruan tinggi lain. Sehingga perlu kebijakan komprehensif untuk melakukan migrasi dosen dalam waktu tertentu agar terjadi distribusi kepakaran secara merata. Dan tidak menumpuk pada perguruan tinggi tertentu. (2). Tantangan pendidikan di era MEA. New Think Asean, kata Philip Kotler. Asean sulit diprediksi. Ada banyak pemain baru dalam seluruh sektor, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya. Asean sekarang sudah sangat berbeda dengan 20 tahun yang lalu. MEA adalah peluang pasar bagi Indonesia. Tantangan kita, (a). Masalah bahasa. (b). Mobilitas mahasiswa, dosen dan peneliti. Kedua tantangan ini bisa dilakukan international summer program, lecturer/ researcher exchange program, joint risearch, joint seminar, dst. (c). Menyehatkan PTN- PTS Ada sepuluh PT terbaik Amerika. Semuanya PTS dan didanai oleh donatur kaya. Universitas Harvard memiliki dana abadi sebanyak Rp. 473,2 triliun. Donatur Dari filantropis kaya semacam Rockefeller, John F Kennedy, dan Melinda Gates banyak investasi untuk pendidikan dan kesehatan. Di Indonesia kita sulit mendapatkan orang kaya seperti itu. PTS kita secara nasional banyak yang sakit- sakitan. Dari 3.078 PTS, baru 111 (3,6%) mengajukan akreditasi institusi. Itupun baru 4,5% yang mampu terakreditasi B, dan selebihnya C. Masih ribuan yang belu mengajukan akreditasi. Mengerikan. Sementara ada 70% mahasiswa Indonesia kuliah di PTS. Ditambah lagi, dengan 1/3 PTS yang masih luhur dan bersikukuh dalam menjalankan misi PT. Selebihnya, PTS dijadikan sebagai pundi- pundi income oleh pendirinya. Ada juga untuk kepentingan bisnis, kepentingan pribadi sebagai sumber dana kampanye, dst. PTS sulit mendapatkan izin prodi yang laris- manis seperti Prodi Ilmu Kedikteran dan semua turunannya. Dosen PTS juga hanya sedikit yang bisa berfungsi sebagai dosen. Padahal untuk melaksanakan tridharma, PT sangat membutuhkan dosen yang bermutu, laboratorium, perpustakaan yang lengkap, proses belajar mengajar yang maju. Sehingga kita bisa melahirkan lulusan yang terampil dan berdaya saing. ( Elfindri, Kompas, 4 maret 2016). (d).Pengembangan bidang ilmu. Data Forlap Kemenristek Dikti (2016), jumlah prodi sebanyak 23.747. Sains dan teknik yang mencakup MIPA, teknik, kedokteran, kesehatan, dan pertanian. Selebihnya ilmu- ilmu sosial dan humaniora, seperti ekonomi, politik, hukum, sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat, dan agama. Jumlah prodi sains- keteknikan lebih sedikit dibanding ilmu sosial dan humaniora. Sains keteknikan sebanyak 10.135 prodi sekitar 43%. Dan ilmu sosial dan humaniora sebanyak 57% ( 13.611). Dari jumlah mahasiswa sebanyak 5. 228.562, yang menekuni sains keteknikan hanya 1.593.882(30,5 persen). Dan mereka yang menekuni bidang ilmu sosial dan humaniora sebanyak 3. 634.679(69,5 %).Sehingga terjadilah ketimpangan. Terjadilah inflasi sarjana ilmu-ilmu sosial humaniora. Lebih banyak " pengamat" daripada ahli. Defisit sarjana teknik tak terhindarkan. Indonesia kekurangan insinyur. Diperkirakan tahun 2015-2025, kita kekurangan insinyur sekitar 15 ribu pertahun. Pada tahun 2020-2025 kita membutuhkan insinyur sebanyak 90.500 pertahun. Bagaimana dengan PTKI? Kita harus menjawab tantangan- tantangan pengembangan pendidikan tinggi tersebut. Kita harus terus berinovasi untuk menciptakan peluang- peluang baru. Penguatan akreditasi prodi dan institusi harus menjadi konsern pimpinan perguruan tinggi. Peningkatan kualitas dosen adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Publikasi ilmiyah harus terus digenjot agar kita mendapatkan recognition, pengakuan baik nasional, regional ASEAN maupun internasional. Pemenuhan infrastruktur kampus harus terus dibenahi agar civitas akademik bisa betah mengembangkan ilmu dan proses pembelajaran di kampus. Kampus yang ikonik harus kita bangun yang akan menjadi kebanggaan Kemenag dan bangsa kita.